Agus Fatoni dan Fenomena Mudik Lebaran (Visiting Hometown On Idul Fitri Days)
Ketiga, nilai-nilai tersebut dapat dihayati dan dirasakan oleh pemudik saat melakukan berbagai aktivitas ritual dan tradisi seperti takbiran, shalat Id, ziarah kubur, sungkeman, silaturahmi (halal-bihala), kumpul bersama keluarga, memberi hadiah, dan sebagainya.
Keempat, mudik lebaran memiliki fungsi sebagai mekanisme katarsis dan psikoterapetik bagi kehidupan pemudik baik secara pribadi maupun secara sosial. Mudik juga dapat merevitalisasi kehidupan pribadi pemudik dan hubungan dengan keluarganya. Mudik dapat menyehatakan mental dan mendatangkan kebahagiaan.
Kata “mudik” secara harfiah berasal dari kata “udik” yang kerap diartikan desa. Jadi kata “mudik” diterjemahkan sebagai “pulang kampung”. Kata mudik selalu diidentikan sebagai pulang kampung yang dilakukan masayrakat sebelum hari raya Idul Fitri atau sepekan (tujuh hari) sebelum tanggal 1 Syawal dalam kalender Islam.
Dari buku “Mudikpedia Lebaran 2024” yang dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa kata “mudik” berasal dari Bahasa jawa yang merupakan singkatan dari “mulih dilik” yang berarti pulang sebentar.
Dalam tinjaun sejarah, mudik menurut Budayawan Umar Kayam, awal mulanya tradisi primordial masyarakat petani jawa yang keberadaanya jauh sebelum kerajaan Majapahit. Tradisi ini awalnya dilaksanakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di khayangan. Tujuannya adalah agar para perantau diberikan keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang di tinggalkan tidak diselimuti masalah.
Kemudian dengan masuknya ajaran Islam ke tanah Jawa membuat tradisi ini terkikis karena di anggap mengandung perbuatan syirik kepada Allah terutama kepada mereka yang menyalah gunakan dengan meminta kepada leluhur yang sudah meninggal.