Alquran Cetak Pertama di Indonesia dan Asia Tenggara Dicetak di Kampung 3 Ulu
Selain sebagai konsekuensi dari perjalanan ibadah haji, kemunculan percetakan Muhammad Azhari juga merupakan implikasi dari fenomena penyebaran budaya cetak lintas benua oleh agen-agen misionaris yang memiliki jaringan internasional. India dan Singapura yang Azhari singgahi merupakan koloni-koloni Inggris yang dinamis dalam peta perkembangan percetakan muslim dengan litografi sebagai sarana utamanya.
Pertumbuhan percetakan di dua kawasan itu tak lepas dari peran para misionaris yang melakukan dakwah dengan memanfaatkan teknologi cetak untuk memroduksi Alkitab dan teks-teks ajaran Kristen. Percetakan Muhammad Azhari merupakan resultan dari perjalanan misi keagamaan Islam dan Kristen yang melintasi Selat Malaka sebagai jalur pelayaran di mana Singapura menjadi titik persilangan budaya cetak.
“Litografi menjadi teknologi cetak yang dipilih oleh Muhammad Azhari untuk mencetak Alquran”, kata Subhan, “Karena dapat mengakomodasi nilai-nilai penting dalam kalangan muslim. Alquran merupakan kitab suci yang harus ditulis oleh muslim yang senantiasa mensucikan diri”.
Menurut Subhan, dengan litografi, umat muslim dapat menggandakan mushaf yang disalin secara tulis tangan sehingga dapat memenuhi aspek estetis-kaligrafis aksara non-Latin yang sulit diakomodasi oleh tipografi pada abad ke-19.
Dalam buku yang terbagi menjadi empat bab ini, juga menjelaskan tentang percetakan Muhammad Azhari yang hanya bertahan selama enam tahun (1848-1854). Usia usaha percetakan yang tak panjang ini sepadan dengan karakter tipografi sebagai teknologi cetak transisional antara tradisi khirografi dengan tipografi.
Litografi yang merupakan perpanjangan tradisi manuskrip segera digantikan oleh tipografi yang semakin baik kualitas cetaknya menjelang akhir abad ke-19, sehingga pada dekade-dekade awal abad ke-20 penggunaan tipogafi dan produk-produk cetaknya mendominasi lanskap budaya cetak di Hindia Belanda dan Asia Tenggara.
Meski demikian, tradisi manuskrip belum hilang sama sekali, mengingat masih ditemukannya naskah-naskah baru yang diproduksi dan beredar di Palembang melalui praktik persewaan naskah secara komersial sejak dekade 1880-an hingga 1920-an.