Antara Film Dirty Harry dan Film Dirty Vote Sebagai Dokumentasi Pemilu Kita
Bivitri mengingatkan, sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini. Apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru? “Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” katanya.
Feri Amsari juga menyampaikan pesan yang sama. Menurutnya, esensi pemilu adalah rasa cinta tanah air. “Membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini. Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” ujarnya.
Menurut Sang sutradara Dandhy Laksono, “Seyogyanya Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu. Diharapkan tiga hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar. Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara”, katanya.
Film ini lahir dari kolaborasi 20 lembaga yang terlibat yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Mereka yang telah menonton film ini ada yang menarik kesimpulan seperti ini, bahwa film ini adalah “gugatan” terhadap pelaksanaan pemilu di Indonesia yang memberi pesan kepada semua yang menontonnya untuk membangunkan kesadaran kolektif bahwa proses demokrasi yang kita jalani mungkin saja tidak sesuci yang kita percayai.