Home > Budaya

Antara Film Dirty Harry dan Film Dirty Vote Sebagai Dokumentasi Pemilu Kita

Film Dirty Vote masuk kategori sebagai film dokumenter, namun tetap sebuah film sebagai media komunikasi yang berguna menyampaikan pesan, ada gagasan di dalamnya, ada ajakan.

Bivitri Susanti.  (FOTO: Dok. Dirty Vote Official)
Bivitri Susanti. (FOTO: Dok. Dirty Vote Official)

Tiga pakar hukum tata negara yang tampil dalam film ini adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari tampil bak seorang dosen menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Aslinya mereka bertiga memang dosen ilmu hukum. Zainal Arifin Mochtar adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM), Bivitri Susanti adalah dosen pada Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera dan Feri Amsari dosen pada Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand).

Dalam film yang mulai tayang tiga hari menjelang pemilihan umum 14 Februari 2024 digambarkan bagaimana penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di demi mempertahankan status quo. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara yang mencerdaskan siapa pun yang menonton.

Penjelasan yang disampaikan tiga ahli hukum tata negara ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara. Menurut Bivitri Susanti, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.

“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis”, kata penerima Anugerah Konstitusi M. Yamin dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas tahun 2018.

× Image