Mahasiswi Bertanya Kasus Kematian Wartawan Udin Bernas
Tidak hanya kekerasan fisik yang mungkin dialami oleh para jurnalis atau wartawan dalam menjalankan fungsi pekerjaannya, terkadang yang lebih parah adalah kekerasan psikologis yang menimpa para jurnalis, tanpa mereka sadari.
Menurut Randal A Beam dan Meg Spratt dalam “Managing Vulnerability. Journal of Journalism Practice” (2009), di berbagai negara barat, sudah mulai ada kesadaran bahwa para jurnalis yang usai meliput kegiatan perang, ataupun kegiatan yang mengandung kekerasan dan ancaman bagi para jurnalis secara langsung dan tak langsung, harus menjadi perhatian pengelola media. Artinya para pemimpin media harus memperhatikan lebih serius akan adanya kemungkinan trauma psikologis bagi para jurnalisnya.
Selain itu juga ada ancaman yang tak tampak yang juga selalu menghantui para jurnalis, menurut Merryn Sherwood & Penny O’Donnell dalam “Once a Journalist, Always a Journalist?” (2016), yakni ancaman kehilangan pekerjaan (job loss). Ancaman ini memiliki dampak yang sungguh sangat serius bagai para pekerja media.
Wartawan atau jurnalis sebagai sebuah profesi menyadari bahwa ada kerentanan yang sangat serius ketika berkaitan dengan kemungkinan kehilangan pekerjaan. Tidak hanya karena berarti akan kehilangan mata pencaharian saja, namun juga mereka bisa mengalami kondisi menurunnya kepercayaan diri ketika diberhentikan dari media di mana mereka bekerja.
Di era digital ini, kekerasan atau kejahatan terhadap jurnalis terus terjadi. Gilang Desti Parahita dari Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dalam makalahnya “Pola & Ancaman Kekerasan Terhadap Jurnalis di Era Digital” yang disampaikan memperingati Hari Impunitas 2019 mencatat bahwa angka kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat, kasus kekerasan terhadap jurnalis jarang yang teselesaikan secara hukum, benteuk kekerasan berkembang dengan adanya media baru, dan aktor kekerasan konsisten/ berubah?
Ia juga memaparkan penyebab kekerasan terhadap jurnalis yang masih berlangsung : 1. Budaya impunitas yang menimbulkan ketakutan dan sensor berlebihan; 2. Profesi jurnalis kurang dihormati oleh aparat negara, juga oleh sebagian anggota masyarakat; 3. Logika industrial yang mendasari penyusunan regulasi media maupun penguatan oligarki media; 4. Lemahnya/ terbatasnya asosiasi pekerja media sehingga tidak terbentuk solidaitas yang efektif antar jurnalis bahkan meningkatkan mentalis lapdog; 5. Wilayah Indonesia yang luas, persoalan kekerasan yang beragam di daerah, sementara pada sisi lain sumberdaya Dewan Pers maupun Komite Keselamatan Jurnalis terkait dengan tindakan preventif terbatas.
“Kekerasan terhadap jurnalis pada dasarnya adalah ancaman terhadap demokrasi”, tulis Manunggal K. Wardaya dalam “Kekerasan Terhadap Jurnalis, Perlindungan Profesi Wartawan, dan Kemerdekaan Pers di Indonesia” (2011). Jurnalis maupun perusahaan pers yang merasa terancam dan terintimidasi karena tindakan kekerasan berpotensi kehilangan kebebebasan dalam menyampaikan informasi yang patut diketahui publik.
Ketika pers tak lagi bebas maka yang paling dirugikan adalah masyarakat, karena informasi yang seharusnya diterima untuk kemudian dijadikan bahan untuk mengambil sikap politik sebagai warga negara tak lagi dapat dinikmati.
Perlindungan terhadap wartawan menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, bukannya tidak disadari oleh pembentuk Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Pasal 8 UU Pers secara eksplisit menyatakan, bahwa dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh perlindungan hukum.
Menurut Manunggal K. Wardaya, begitu perlindungan hukum yang dimaksud tak begitu jelas dan tegas. Kalaupun ada, maka perlindungan yang ada lebih kepada perlindungan represif, bersaranakan hukum pidana yang baru dapat diterapkan manakala suatu peristiwa kekerasan telah terjadi. Namun, tidak ada produk hukum yang secara adekwat dan spesifik memfasilitasi jaminan keselamatan terhadap wartawan dalam maknanya yang preventif, yang mencegah maupun meminimalisir terjadinya kekerasan atau dampak kekerasan.
Sekarang dan ke depan, keselamatan jurnalis atau wartawan masih menjadi masalah serius di Indonesia, karena selama ini terjadi banyak tindak kekerasan terhadap wartawan atau dan media. Semoga pada pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan presiden tidak ada impunitas atas kejahatan terhadap wartaan/ jurnalis. (maspril aries)