Mahasiswi Bertanya Kasus Kematian Wartawan Udin Bernas
RWB adalah organisasi non-pemerintah dan non profit dengan status sebagai konsultan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Organisasi ini berpusat di Paris dan mulai berdiri tahun 1985.
Data yang sama dilansir CPJ (Committee to Protect Journalists). Di laman www.cpj.org menyebutkan, sampai 7 November 2023 ada 39 jurnalis dan pekerja media dipastikan tewas yang terdiri 34 warga Palestina, empat warga Israel, dan satu warga Lebanon. Ada delapan jurnalis dilaporkan terluka, tiga jurnalis dilaporkan hilang dan sembilan jurnalis dilaporkan ditangkap. Berbagai penyerangan, ancaman, serangan siber, sensor, dan pembunuhan anggota keluarga terus terjadi.
CPJ juga menyelidiki sejumlah laporan yang belum dapat dikonfirmasi mengenai jurnalis lain yang terbunuh, hilang, ditahan, disakiti, atau diancam, dan mengenai kerusakan pada kantor media dan rumah jurnalis.
Committee to Protect Journalist atau CPJ adalah organisasi non-profit dan Non-Governmental Organization yang memiliki perwakilan di berbagai negara-negara di dunia. Organisasi ini berdiri tahun 1981 berpusat di Kota New York, Amerika Serikat. CPJ hadir mempromosikan kebebasan pers dan membela hak-hak jurnalis. The American Journalism Review menyebut organisasi ini sebagai “Palang Merah Jurnalistik”.
Apakah jumlah wartawan yang tewas dan luka-luka akan terus bertambah? Dari penyelidikan awal CPJ, selain 39 jurnalis dan pekerja media yang tewas, juga tewas 11.000 orang yang terbunuh sejak perang dimulai pada tanggal 7 Oktober 2023 – ada 9.900 warga Palestina tewas di Gaza dan Tepi Barat, dan 1.400 orang tewas di Israel.
Wartawan menjadi korban kekerasan, dibunuh dan dikriminalisasi tidak hanya terjadi di wilayah konflik atau perang. Di wilayah yang tidak ada perang atau konflik di wilayah yang aman-aman saja tetap saja wartawan menjadi korban kekerasan.
LBH Pers dalam Annual Report 2022 mencatat ada 51 kasus kekerasan yang menimpa wartawan dan media di Indonesia. Kasus kekerasan tersebut terjadi pada 21 provinsi dengan kasus terbanyak terjadi di Jakarta sebanyak sembilan kasus. Di Sumatera Selatan (Sumsel) pada 2022 juga terjadi dua kasus kekerasan.
Tindak kekerasan tidak hanya terjadi pada wartawan atau pers nasional dan daerah, melainkan juga terjadi pada pers mahasiswa yang terbit di kampus-kampus perguruan tinggi. LBH Pers mencatat selama tahun 2022 terjadi 51 kasus kekerasan terhadap wartawan atau aktivis pers mahasiswa dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).
Bentuk kekerasan yang terjadi, ada tujuh kasus merupakan serangan terhadap aktivitas pers mahasiswa. Enam serangan di antaranya ditujukan kepada lembaga, dan satu kasus ditujukan langsung pada sembilan wartawan kampus yang merupakan kru LPM Lintas.
Dalam catatan LBH Pers, wartawan kampus atau LPM walau berada dalam lingkungan kampus ternyata minim perlindungan. Wartawan kampus atau mahasiswa adalah bagian dari pers yang harus dilindungi. Eksistensinya harus dijaga sebagai investasi masa depan Pers Indonesia.
LBH Pers mencatat, bahwa minimnya kerangka perlindungan melalui UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sehingga kerap kali aktivis pers mahasiswa berada di posisi dilematis. Terlebih otoritas kampus yang terkadang memandang pers mahasiswa tak lain dari bagian unit kegiatan mahasiswa yang berada di bawah kendalinya menjadikan fungsi LPM terbelenggu, bahkan rentan mendapat intimidasi, penyensoran, hingga pembekuan.
Ancaman Demokrasi
Mengutip Lestari Nurhajati & Xenia Angelica Wijayanto dalam penelitian “Peran LBH Pers Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Indonesia” (2018), di berbagai belahan dunia, salah satu persoalan serius yang terus menerus dihadapi oleh profesi jurnalis ini adalah mengahadapi tindak kekerasan saat meliput dan melaporkan hasil pemberitaanya.
Unesco tahun 2015 membuat riset secara khusus tentang kasus kekerasan yang menimpa para jurnalis online. Selam tahun 2011-2013 tercatat ada 276 jurnalis dari berbagai belahan dunia meninggal akibat kekerasan yang dialaminya karena profesinya.
Stuart Allan menuliskan dalam “Citizen Witnessing; Revisioning Journalism in Times of Crisis” (2013), secara tidak langsung terkadang para jurnalis yang berada di garis depan peristiwa perang, demonstrasi, maupun perselisihan antara sipil dan militer, menjadi korban kekerasan dari situasi yang ada.