Sejarah Otonomi Daerah yang Usianya Sudah 27 Tahun
Atau otonomi daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
Pelaksanaan otonomi daerah penerapannya harus lebih memberdayakan daerah dengan cara diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata, dan bertanggung jawab. Terutama dalam mengatur, memanfaatkan, dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Pasca reformasi, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus ekonomi rumah tangganya sendiri.
Kemudian UU Nomor 22 Tahun 1999 mengalami perubahan, implementasi otonomi daerah pun memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR mensahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dapat disimpulkan bahwa yang melatarbelakangi implementasi otonomi daerah secara nyata di Indonesia adalah ketidakpuasan masyarakat yang berada di daerah yang kaya sumber daya alam namun kehidupan masyarakatnya tetap berada di bawah garis kemiskinan.
Otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam penerapannya memiliki prinsip sebagai berikut: a. Prinsip otonomi seluas-luasnya. b. Prinsip otonomi nyata. c. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab.
Berdasarkan UU No.32 Tahun 2014 ada tiga jenis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan otonomi daerah atau disebut tiga asas otonomi daerah.
Pertama, Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan tugas dan urusanoleh pemerintah kepada daerah otonom. Kedua, Asas Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan urusan dari pemerintah pusat yangmenjadi wewenang pemerintah pusat pada gubernur. Gubernur adalah wakil dari pemerintah pusat.
Ketiga, Tugas Pembantuan, yaitu penugasan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintah pusat baik ke provinsi, kabupaten, atau desa sebagai mandat.
Tahun 2004 pemerintah menerbitkan UU No. 32 Tahun tentang Pemerintahan Daerah yang ditandai antara lain dengan menguatnya kembali otonomi daerah di provinsi.
Setelah 27 tahun usia otonomi daerah, tetap saja ada permasalahan yang muncul. Sani Safitri dalam penelitiannya berjudul “Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia,” (2016) menyebutkan ada masalah yang ditimbulkan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Masalah tersebut : 1. Ketimpangan kemajuan pembangunan antara daerah yang kaya sumer daya alam dengan daerah yang miskin sumber daya alam. 2. Semakin maraknya penyebaran korupsi diberbagai daerah, money politics, munculnya fenomena pragmatisme politik di masyarakat daerah. 3. legitimasi politik dan stabilitas politik belum sepenuhnya tercapai. 4. adanya konflik horizontal dan konflik vertikal, dan 5. Kesejahteraan masyarakat ditingkat lokal belum sepenuhnya diwujudkan.
Dadang Sufianto dalam penelitiannya berjudul “Pasang Surut Otonomi Daerah Di Indonesia,” (2020) menarik kesimpulan, “Sejak dahulu sampai sekarang, otonomi daerah di Indonesia mengalami pasang-surut mengikuti irama ‘tarik-menarik kewenangan Pusat-Daerah’ sesuai dengan perubahan situasi politik.” (maspril aries)