Sejarah Otonomi Daerah yang Usianya Sudah 27 Tahun
Dengan UU Nomor 5 tahun 1974 Pemerintah Orde Baru mengatur perubahan, ada dua tingkat daerah otonom, yaitu Daerah Tingkat I dan Darah Tingkat II dan pemerintah pusat memperketat pengawasan atas pemerintah daerah sebagai cara pengejawantahan.
Kemudian pada era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim Orde Baru, pemerintah mengeluarkan dua kebijakan yang mengatur tentang otonomi daerah, yaitu UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dua tahun sebelum Orde Baru tumbang, pada 1996 Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No.11 Tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah memutuskan menetapkan tanggal 25 April sebagai Hari Otonomi Daerah.
Sejarah otonomi daerah telah banyak mengalami pasang surut. Sejak masa penjajahan, Indonesia telah menerapkan sistem desentralisasi yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Pada saat itu sistem penentuan masih bersifat sentralistis, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan penjajah saja, tapi bentuk inilah yang kemudian diwariskan kepada Indonesia.
Apa Otonomi Daerah?
Sejarah otonomi daerah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah pemerintahan di Indonesia. Otonomi daerah di Indonesia menurut Zainul Djumadi dalam “Otonomi Daerah di Indonesia Sejarah, Teori dan Analisis” (2017), lahir sebagai bentuk pengakuan terhadap sentralisasi di masa Orde Baru yang tidak menghasilkan pembangunan dan peningkatan serta perubahan kearah yang lebih baik dalam berkehidupan masyarakat dan kenegaraan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Kondisi tersebut terjadi karena pada masa Orde Baru adanya ketergantungan yang sangat tinggi dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Akibatnya tidak ada kemandirian perencanaan pengelolaan pemerintah daerah saat itu. Pada masa Orde Baru seluruh proyek pembangunan dan pengembangan wilayah di daerah semuanya bergantung persetujuan pemerintah pusat di Jakarta, baik dalam hal dana maupun sumber daya manusia. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Satu tahun setelah terbit Keppres No.11 Tahun 1996, kondisi ekonomi Indonesia mulai memburuk dan terancam ambruk. Bersamaan dengan saat itu tuntutan demokratisasi dan reformasi terus menguat yang berujung pada mundurnya penguasa Orde Baru Presiden Soeharto dari jabatannya.
Pasca reformasi, tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pemerintahan Presiden Habibie bersama Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah merevisi UU No.5 Tahun 1974 yang sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan keadaan.
Secara umum otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.
Secara etimologi, otonomi berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua kata yaitu “autos” yang berarti “sendiri” dan “nomos” yang berarti “aturan.” Jadi otonomi memiliki arti pengaturan sendiri, memerintah sendiri atau mengatur sendiri. Dalam arti sempit, otonomi memiliki makna mandiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 menyebutkan pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri.