Mengenang 113 Tahun Naguib Mahfouz dari Sebuah Coffee Shop di Khan el-Khalili
Naguib Mahfouz seorang penulis yang sangat produktif. Menurut hitungan Rasheed El-Enany, Mahfouz meninggalkan tak kurang dari 50 lebih karya, baik yang berbentuk novel, cerita pendek, skenario, maupun otobiografi. Terdiri dari 35 novel, 14 kumpulan cerita pendek, dan 1 buku terjemahan tentang peradaban Mesir kuno.
Sementara brosur yang dikeluarkan American University in Cairo dalam rangka peringatan seratus tahun Naguib Mahfouz (2011) mendaftarkan setidaknya 55 karya Mahfouz sejak tahun 1938 sampai 2005 ketika dia tidak lagi mampu menulis lebih dari setengah jam setelah ditikam sekelompok kaum fanatik di luar rumahnya di tahun 1994. Penikaman terjadi karena kesalahpahaman tentang novelnya yang paling kontroversial, Awlad Haratina (Anak-Anak Kampung Kami) atau dalam terjemahan bahasa Inggris menjadi Children of Gabelawi.
Mahfouz melalui karya-karyanya juga tidak ragu untuk mengkritik norma-norma sosial dan kultural dalam masyarakat Mesir. Dalam novel Miramar, ia mengeksplorasi tema identitas dan perubahan sosial pasca-revolusi. Melalui narasi yang kompleks, Mahfouz menunjukkan bagaimana sejarah dan tradisi membentuk identitas individu dan kolektif, serta tantangan yang dihadapi dalam menavigasi perubahan.
Karya-karya Mahfouz tidak hanya dikenal terbatas di Mesir dan di lingkungan negara-negara Arab. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa termasuk Bahasa Indonesia dan dianggap sebagai jembatan antara budaya Timur dan Barat. Ia telah menginspirasi banyak penulis di seluruh dunia, menjadikan karya-karyanya penting dalam studi sastra global.
Dari banyak karyanya, menurut Novriantoni Kaharudin, Mahfouz atau Mahfuz mempunyai bakat alamiah dalam berkisah. Bakat itu dia tempa dari tongkrongannya di berbagai kafe di kota Kairo. Ada satu babak dari buku kritikus sastra bernama Raja al-Naqqasy yang mengisahkan bahwa Mahfuz adalah orang yang paling lihai bermain nuktah.