Mengantar Buku Bajakan ke Penulisnya
Menurut Tjahjono, pada sejarah awal perkembangan penerbitan buku, usaha penerbitan buku merupakan gabungan antara idealisme dan pasar. Dalam The Coming of The Book (versi 1990). Lucien Febvre dan Henri-Jean Martin, selain menggambarkan hiruk-pikuk dampak percetakan pada tahun 1450 dan 1800 juga menunjukkan adanya kecenderungan menarik yang dianut para pencetak melandasi konsep penerbitan buku-buku mereka.
Febvre dan Jean Martin menunjukkan sosok-sosok Berthelemy Buyer, Jean Amerbach, dan Aldus, yang digelarinya sebagai "pencetak-penerbit humanis". Mereka adalah kapitalis-kapitalis yang amat memahami dengan jeli kemungkinan ganda dari bisnis penerbitan buku. Yaitu, di satu sisi untuk mendapatkan laba, dan di sisi lain sebagai sarana penyebarluasan kebudayaan.
Kemudian berkembang, buku sebagai produk industri atau komoditas komersial seperti halnya sepatu, tekstil, alat rumah tangga, dan sebagainya. Namun sebagai bagian dari bisnis, buku memiliki visi sebagai wahana pengetahuan, pendidikan, dan transformasi nilai-nilai budaya dalam masyarakat.
Pembajakan buku adalah praktek curang, yang pengertiannya bisa dibaca pada buku yang biasa mencantumkan kutipan, “yaitu upaya memperbanyak buku dengan cara dicetak, difotocopy atau cara lain tanpa mendapat izin tertulis dari penerbit buku”.
Hosiana Daniel Adrian Gultom dan Serlly Waileruny dalam “Sistem Hukum Hak Cipta Yang Terintegrasi Untuk Memberantas Perdagangan Buku Bajakan pada Lokapasar Daring” (2022) menyebutkan pembajakan buku dimaknai sebagai penggandaan secara tanpa hak, yang kemudian dijual, diedarkan, maupun disebarkan ke berbagai pihak dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Buku Bajakan Cilok
Sebelum era digital tiba, buku menjadi kebutuhan masyarakat. Industri dan bisnis penerbitan buku menjadi salah satu bisnis yang menggiurkan. Penerbitan buku menjanjikan keuntungan besar, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap buku tak pernah tertuntaskan. Ruang ini yang kemudian dimanfaatkan para pembajak buku.