Masa Orba Jilbab Dilarang, Masa Reformasi Paskibraka Harus Lepas Jilbab
Pemerintah Orde Baru melarang pemakain jilbab ke sekolah khususnya sekolah-sekolah negeri karena dianggap sebagai bentuk aktivisme Islam dan primordialisma agama. Pada masa itu memang hubungan antara pemerintah Orde Baru dengan Islam memang sedang tidak baik-baik saja.
Akibat dari tekanan Orde Baru terhadap perempuan pemakai jilbab, di daerah muncul berbagai kasus. Seperti di SMA Negeri I Jember, seorang siswi bernama Tri Wulandari yang memakai jilbab ke sekolah hendak dipecat dari sekolah karena dianggap melanggar tata tertib yang berlaku yaitu SK No.052 tersebut. Bahkan ia mendapat panggilan dari Kodim setempat.
Kemudian di Ujung Pandang (sekarang Makassar) seorang siswi bernama Siti Chatidja di SMAN I tidak diperbolehkan mengikuti ujian sebelum ia melepas kerudungnya dengan alasan instruksi dari Kantor Wilayah P dan K.
Di Jakarta kasus jilbab terjadi di SMAN 68 pada 1983, siswi bernama Ratu Nasiratun Nisa tidak diperbolehkan masuk sekolah karena tidak memakai seragam sekolah yang diatur dalam SK No.052. Di Bandung, kasus serupa dialami delapan siswi SMAN 3 Bandung. Delapan siswa yang berkerudung disuruh memakai celana pendek (hotpant) oleh gurunya Wargono, mereka menolak aturan tersebut.
Tahun 1988 di Bogor, tujuh siswi yang mengenakan jilbab, yaitu Nurfarhanah, Nursari Rinekawati, Hefti Mulyati, Ranti Aryanie, Nunung Pujiastuti, Ida Nuraida dan Tika Riyanti, dicoret dari daftar absensi sebagai murid yang tidak hadir oleh kepala Sekolah SMAN I Bogor, Ngatijo. Mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, kehadiran mereka tidak dinilai oleh para guru walau mengikuti semua kegiatan sekolah.
Kasus ini lalu bergulir ke ranah hukum lewat Pusat Pengabdian Hukum Universitas Ibnu Khaldun para siswa melayangkan gugatan kepada sekolah. Setelah dilakukan pertemuan dengan melibatkan Wali Kota, Majelis Ulama Indonesia, Kanwil P dan K Jabar, Kepala Sekolah Ngatijo meminta maaf dan para siswi diperbolehkan kembali sekolah dengan mengenakan jilbab.