Bagaimana Pustakawan Bekerja
Saya pun menyusun bantal yang jadi alas membuka manuskrip dan rantai berbalut kain mirip bludru sebagai penahan halaman ke raknya sebelum pamit.
Sepekan lamanya saya tak kembali ke perpustakaan karena saya harus mengampu kelas menulis di Den Haag dan Paris. Saya pun sudah lupa perihal “pesanan saya”.
“Ada titipan dari Marie,” kata pustakawan plontos sembari menerima kartu perpustakaan saya ketika saya masuk ruangan koleksi khusus itu sepekan kemudian. “Dia tidak masuk hari ini.”
“Oh dia menitipkan sesuatu kemarin?” Saya mencoba mngingat-ngingat.
“Sejak enam hari yang lalu tepatnya. Dia khawatir kamu membutuhkannya ketika dia sedang tidak bertugas. Ini dia”, laki-laki itu menyerahkan sebuah buku tebal dengan beberapa kertas catatan yang menyembul dari tepinya.
“You want to get your orders or have these documents first?” Oh, rupanya Marie juga menitipkan beberapa berkas lain. “The collection donated by Balinese and Javanese,” katanya sebelum meminta saya menandatangani berkas penerimaan dokumen.
Oh, rupanya ia juga membaca catatan Marie. Saya baru ingat kata perempuan berambut pendek keriting itu, bahwa para pustakawan belajar dari pesanan-pesanan para peneliti.
Hingga tiga puluh menit kemudian, saya tidak melakukan apa-apa selain takjub dengan berkas-berkas yang Marie carikan untuk saya. Saya hanya memandang tumpukan informasi bersanad yang ia susun dengan rapi sehingga membuat saya tahu, bahwa ada versi Undang-Undang Palembang dalam Katalog Jawa yang tak pernah diakses sama sekali selama 70 tahun terakhir.
Dua nama Jawa dan Bali itu pun saya kantongi satu jam kemudian, lengkap dengan informasi bagaimana bisa naskah ini mampir ke Leiden.
Allah. Saya merinding dan terharu.
Saya mengunggah tulisan ini tengah hari. Di Negeri Pisang Berbuah Labu tentu tidak ada layanan perpustakaan yang buka pada jam makan siang, iye, ‘kan? ●