Home > News

Pakde Jamin Transmigran Generasi Pertama di Air Sugihan

Sejak tahun 1970-an atau masa masa awal Orde Baru (Orba) berkuasa hutan alam di Air Sugihan telah dibabat, tahun 1978 pembalakan hanya menyisakan sekitar 37 persen dari luas hutan di situ.

Pakde Jamin Transmigan Generasi Pertama di Air Sugihan. (FOTO: D Oskandar)
Pakde Jamin Transmigan Generasi Pertama di Air Sugihan. (FOTO: D Oskandar)

Akibat melimpahnya buah Nanas Gambut, warga sempat kesulitan pemasaran. Menurut Pakde, “Kami harus menjual jauh ke Palembang. Selain itu, bagi kami di lahan gambut, Nanas Gambut juga berfungsi sebagai sekat bakar. Api yang membakar semak belukar akan mati di lahan Nanas Gambut ini”.

Dengan buah Nanas Gambut yang melimpah dari desa-desa di Air Sugihan membutuhkan pengelolaan dan pengolahan buah Nanas Gambut. Jika tidak ada industri pengolahan maka kalau dijual dalam bentuk buah, hasilnya buah Nanas Gambut ini akan jatuh. Pemasarannya terbatas di sekitar Air Sugihan saja.

“Inilah kesulitan kami mengembangkan Nanas Gambut sejak dulu. Kalau ada industri pengolahan saya yakin Nanas Gambut akan dibudidayakan di sini”, ujar Pakde Jamin.

Bagi para transmigran di Air Sugihan perjuangan berat pada tahun-tahun awal, tantangan alam begitu beratnya. Belum lagi binatang liar, terutama gajah, jika keluar rumah banyak ditemui penduduk. Juga tidak ada informasi yang sampai ke warga, kecuali bersumber dari satu TV hitam-putih yang ada di Balai Desa yang dihidupkan hanya pada malam hari. Pada masa itu, warga bertahan dengan subsidi pemerintah.

Pada tahun 1986 pernah terjadi banjir pasang diikuti hujan selama lima hari lima malam, ini berdampak gagal panen, namun juga menaikkan harga bara kebutuhan pokok akibat jalan putus.

Pakde Jamin mengenang tahun 1991 program transmigrasi Air Sugihan nyaris gagal karena adanya bahaya kelaparan terhadap 35.000 warganya. Kejadiannya ini menjadi berita di media massa terbitan Palembang dan Nasional.

Kini denyut kehidupan ekonomi di Air Sugihan mulai membaik. Keberadaan perusahaan-perusahaan di sekitar trans membuka akses dari keterisolasian. Keasrian dan ketenangan mulai ditemukan di sana dengan alam perairan yang alami.

Namun dibalik ketenangan tersebut, Pakde Jamin dan warga tetap merasakan adanya ancaman dari kawanan gajah. Gajah Sumatera yang hidup di balik lebatnya hutan lindung yang tersisa, setiap saat bisa masuk ke perkampungan warga.

Untuk mengatasi masalah kawanan gajah, Pakde Jamin meminta agar ada sinkronisasi dalam penanganan gajah yang baik antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan di Air Sugihan dan sekitar. “Ini penting agar ancaman gajah dapat diminimalisir”, katanya. (D Oskandar)

× Image