Sekura: Sebuah Pesta Rakyat dari Lampung (Hanya ada Pada Idul Fitri)
Oleh: Anshori Djausal (Budayawan & Pelukis)
Lampung banyak dikenal sebagai daerah transmigrasi. Tentunya dapat diartikan sebagian besar penduduknya adalah asal pendatang. Untuk menggambarkan keanekaragaman ini, Lampung diberi julukan “Sai Bumi Ruwa Jurai”, satu bumi dari dua asal masyarakat: masyarakat asli dan masyarakat pendatang.
Masyarakat pendatang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa, baik datang dengan program transmigrasi maupun yang datang sendiri secara spontan. Masyarakat asal dari daerah lain pun banyak kita temui di Lampung. Masyarakat pendatang dan asli ini telah bersama-sama hidup berdampingan.
Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat asli adalah masyarakat yang asalnya telah ada sejak dulu dan memiliki adat istiadat yang khas yang berkembang sejak berabad yang lalu atau dapat disebut sebagai masyarakat adat Lampung. Masyarakat adat Lampung ini dapat dikelompokkan dalam tatanan adat Pepadun dan Saibatin. Anggota masyrakat adat Lampung terikat dalam persekutuan ini.
Dari segi adat istiadat dan kebudayaan kedua masyarakat adat tersebut berada dalam satuan adat marga dan dapat dikelompokkan dalam 2 masyarakat adat:
1. Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari marga:
Abung Sewo Mego (Abung Sembilan Marga), Tulang Bawang Mego Pak (Tulang Bawang Empat Marga), Way Kanan Buwai Lima (Way Kanan Lima Marga), Sungkai Marga Bunga Mayang, dan Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku).
2. Masyarakat Saibatin, terdiri dari marga:
Melinting Rajabasa, Teluk Betung, Teluk Semangka, Krui Skala Beghak dan Ranau.
Keseluruhan masyarakat adat Lampung ini terdiri tidak kurang dari 80 marga adat Lampung. Dari kedua kelompok masyarakat adat ini terdapat berbagai keanekragaman kekayaan adat budaya yang tercermin pada bahasa, tata cara adat, dan unsur budaya lainnya.