Wiji Thukul dan Perlawanan Mahasiswa ORBA: Maka hanya satu kata: Lawan!
Salah satu puisi Wiji Thukul berjudul “Sajak Suara” menjadi sebuah ancaman bagi rezim Soeharto yang pada kala itu terjadi berbagai perlawanan dan pergolakan. Di sini kepopuleran Wiji Thukul sebagai tokoh aktivis yang sangat terkenal dengan kata “Lawan!” menjadikannya seorang buronan dan namanya tercantum dalam orang paling dicari rezim Soeharto kala itu. Namun dengan kaburnya Wiji Thukul semasa buron tidak menghentikan berbagai perlawanan hingga turunnya rezim Soeharto. Hingga kini nama Wiji Thukul masih menjadi sebuah simbol perlawanan atas ketidakadilan dan puisinya menjadi suara-suara yang menyatukan massa untuk melawan hak atas aspirasi yang seharusnya menjadi simbol kemerdekaan.
SAJAK SUARA
Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku.
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu pemberontakan.
Sesungguhnya suara itu bukanlah perampok
yang ingin merayah hartamu
Ia hanya ingin bicara
Mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan.
Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
Engkau harus menjawabnya
Apabila engkau tetap bertahan
Aku akan memburumu seperti kutukan.”
Penelitian lain oleh Hantisa Oksinata dalam “Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul” (2010) dengan mengutip Herman J Waluyo menyatakan ada tiga penyair protes di masa Orde Baru yaitu WS Rendra, Wiji Thukul dan Sapardi Djoko Damono. Wiji Thukul adalah penyair rakyat jelata. Saat Orde Baru nama Wiji Thukul muncul dalam sebuah ruang khusus di tengah wacana kekerasan yang menekan selama puluhan tahun.
Puisi Wiji Thukul tidak hanya mengekspresikan perasaanya, tidak hanya menyuarakan kesengsaraan rakyat jelata tetapi juga membangkitkan semangat untuk melawan ketidakadilan.
Di dalam negeri Wiji Thukul dimusuhi, tetapi di luar negeri puisi-puisinya mendapat penghargaan Wertheim Encourage Award tahun 1991 bersama penyair WS Rendra dari Stichting Wertheim. Nama penghargaan ini diambil dari nama seorang Sosiolog Belanda Willem Frederik Wertheim yang anti kolonialisme dan tidak suka dengan pemerintahan Presiden Soeharto.
Jadi gerakan mahasiswa pada zaman Orba yang suka membaca puisi Wiji Thukul atau menjadikan puisi Wiji Thukul sebagai pemicu adrenalin untuk turun ke jalan melawan ketidakadilan dan menumbangkan Orba adalah katarsis terhadap kesewenang-wenangan penguasa Orba, pada penderitaan rakyat miskin, dan perlawanan kaum miskin serta terhadap kesenjangan sosial sekaligus kebebasan berekspresi masyarakat yang terkekang.
Mengutip Tengsoe Tjahjono staf pengajar pada FBS, Universitas Negeri Surabaya dalam “Melawan Kekuasaan dengan Puisi” (2012), puisi Wiji Thukul adalah puisi‐puisi perlawanan terhadap penguasa. Wiji Thukul menulis puisi yang tidak hanya berkutat pada persoalan estetika, tetapi justru puisi yang mengangkat keberpihakan mereka pada yang tertindas dan dimarginalkan.
“Puisi bukan hanya berurusan dengan bentuk ekspresi dan isi, namun juga aksi, yaitu bagaimana puisi mampu terlibat dalam membangun kesadaran bagi masyarakat tentang persoalan hidup mereka,” tulis Tengsoe Tjahjono dosen yang juga penyair.
“Wiji Thukul di mana kau berada? Selamat Ulang Tahun”. (maspril aries)