Wiji Thukul dan Perlawanan Mahasiswa ORBA: Maka hanya satu kata: Lawan!
Pendidikan dijalani Wiji Thukul di SMP Negeri 8 Solo dan melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari. Lalu ia memutuskan untuk berhenti sekolah karena kesulitan keuangan.
Walau putus sekolah Wiji Thukul terus berkesenian. Kemudian tahun 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Sebagai seniman Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Pada 1994 ia ikut aksi petani di Ngawi, Jawa Timur dan langsung memimpin massa sampai kemudian ditangkap aparat militer.
Tahun 1995 saat mengikuti aksi protes karyawan PT Sritex aparat kemanan bertindak brutal kepada Wiji Thukul yang berakibat mata kanannya cedera karena dibenturkan ke mobil. Wiji Thukul menjadi aktivis yang selalu dicari dan diburu, ia menjadi buronan politik penguasa Orde Baru sehingga ia harus berpindah-pindah tempat.
Setelah terjadi peristiwa 27 Juli 1996 sampai reformasi terjadi dengan mundurnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, masa itu banyak tokoh dan aktivis yang ditangkap atau diculik. Ada belasan aktivis yang hilang tak diketahui sampai kini dimana keberadaannya, termasuk Wiji Thukul.
Pada April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Menurut Koordinator Kontras saat itu Munarman, hilangnya Wiji Thukul tidak terlepas dari aktivitas-aktivitas politik yang dijalaninya. Pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk mengungkapkan motif hilangnya Wiji Thukul.
Istirahatlah Kata-Kata
Walau keberadaan Wiji Thukul tak diketahui dimana rimbanya, namun buku yang berisi kumpulan puisinya karya terus tetap terbit. Tahun 2016 film berjudul “Istirahatlah Kata-Kata” (Solo, Solitude) juga diproduksi. Film yang disutradarai Yosep Anggi Noen adalah sebuah film drama biografi Indonesia tentang aktivis dan penyair yang hilang, Wiji Thukul.
Wiji Thukul telah terlahir menjadi salah seorang penyair besar Indonesia, ia bukanlah sosok penyair yang biasa. Pada masa Orde Baru, Wiji Thukul sebagai seorang penyair yang akrab dan bergelut di lingkungan masyarakat bawah atau marjinal atau mereka yang tertindas. Maka tak heran jika tukang becak, dan buruh pabrik menjadi tokoh sentral tema puisi-puisinya.
Menurut Candra Rahma Wijaya Putra dalam “Cerminan Zaman dalam Puisi (Tanpa Judul) Karya Wiji Thukul: Kajian Sosiologi Sastra” (2018), puisi-puisi Wiji Thukul seperti yang terhimpun dalam kumpulan puisi “Aku Ingin Jadi Peluru” (2000) dan “Para Jendral Marah-Marah” (2013), banyak bertemakan suka duka masyarakat kecil.
Wiji Thukul adalah penyair yang juga sering menyuarakan kesenjangan ekonomi akibat kebijakan politik ekonomi pemerintah Orde Baru. Hal inilah yang menjadi ciri khas karya-karya Wiji Thukul. Puisi Wiji Thukul yang ditulisnya pada masa Orde Baru adalah cermin adanya represi pada masa itu di tengah masyarakat seperti adanya pembatasan dan kebebasan berekspresi.
“Dalam puisi-puisinya, Wiji Thukul menggambarkan Indonesia menggunakan bahasa lugas dan mudah dipahami. Hal inilah yang membuat penyair cedal ini menjadi penyair yang ditakuti dan dijadikan buronan, selain juga karena sepak terjangnya sebagai seorang aktivis. Pada akhirnya, karya karyanya dilarang beredar dan ruang lingkup pergerakannya juga terbatasi,” tulis Candra Rahma.
Perjuangan Wiji Thukul selain dapat dibaca dari puisi-puisinya juga bisa disaksikan pada film “Istirahatlah Kata-Kata”. Film yang merupakan drama biografi ini ternyata sukses meraih penghargaan, baik nasional maupun internasional.
Mokhamad Idris dan Jodi Setiawan dalam penelitiannya berjudul “Keabadian Tokoh Perlawanan Melalui Sajak Suara Karya Wiji Thukul dan Dongeng Marsinah Karya Sapardi Djoko Damono”, (2022) menarik kesimpulan : Pesan perlawanan terhadap rezim, sajak suara adalah bentuk pesan keabadian penulis. Wiji Thukul yang telah terjun dalam dunia politik paham betul akan konsekuensi yang akan didapatkannya. Ia begitu paham bagaimana membawakan pesan untuk sebuah perlawanan dan meninggalkan pesan untuk para pejuang suara dan aspirasi di luar sana.