Toko Buku Terakhir Bukan Buku Terakhir Usman Kansong
Flexing Ala Usman Kansong
Pada bagian pengantar dari buku “Toko Buku Terakhir” Usman menuliskan pengalamannya berinteraksi dengan buku, membeli buku, membaca buku dan menulis buku. Saya kutip lengkap “Pengantar Penulis” pada buku “Toko Buku Terakhir,” dengan harapan yang membaca tulisan ini penasaran ingin membeli dan membaca buku yang ditulis seorang pejabat negeri ini.
“Pada 2018, ketika berlibur bersama keluarga ke Selandia Baru, saya mengunjungi Wanaka Lake Beach. Di seberang danau indah itu terdapat pertokoan. Saya mengelilinginya dan menemukan satu toko buku di sana. Saya membeli buku 'The Diary of A Bookseller' karangan Shaun Bythell. Bythell menuliskan pengalamannya mengelola toko buku lawas di Kota Wigtown, Skotkandia.
Setelah membaca buku 'The Diary of A Bookseller', saya terpikir untuk menuliskan berbagai hal tentang buku. Sebagai pecinta buku, bolehlah saya berbagi pengalaman saya berinteraksi dengan buku. Lalu, saya mulai menuliskannya di laman Facebook saya. Tulisan pertama saya tentang buku 'The Diary of A Bookseller' itu. Setelah itu, bisa dikatakan saya selalu mengunggah tulisan tentang buku di laman Facebook saya.
Mengapa saya mengkhususkan diri mengunggah ke Facebook tulisan terkait buku? Tulisan-tulisan itu pertama-tama merupakan ekspresi kecintaan saya pada buku, kegemaran saya membaca buku, serta interaksi saya dengan buku. Ini bisa dikatakan sebentuk narsisme juga, tak ubahnya mereka yang memamerkan foto diri bersama pejabat atau foto diri ketika bepergian ke luar negeri di laman Facebook. Akan tetapi, saya memamerkan foto-foto buku, bukan foto diri bersama pejabat, foto diri ketika bepergian ke luar negeri. Saya bisa juga dikatakan flexing, memamerkan kekayaan atau pencapaian. Namun, saya memamerkan kekayaan intelektual berupa buku, bukan kekayaan harta berupa Rubicon.
Saya kemudian terpikir untuk membukukan unggahan-unggahan saya tentang buku itu. Judulnya “Toko Buku Terakhir.” Walhasil, buku ini berisi kumpulan tulisan saya yang saya unggah di laman Facebook saya. Saya melengkapinya dengan sejumlah kolom saya yang menyenggol buku di harian Media Indonesia. Saya membagi tulisan-tulisan tentang buku dalam beberapa tema: buku dan obituarium; buku dan agama; buku, kafe, kopi; buku dan politik; buku, perjalanan, kebahagian; buku dan aku; toko buku.
Selain untuk ekspresi, narsis, atau flexing, sumpah, saya mengunggah tulisan tentang buku di Facebook dan kemudian membukukannya, juga untuk menggugah literasi kita di era digital! Meski mungkin terlalu idealis, bolehlah saya berharap, di tengah makin meredupnya budaya baca kita yang salah satunya akibat disrupsi digital, buku ini bisa memulihkan kegemaran membaca kita, budaya baca kita. Bolehlah saya mengimbangi narsisme dengan idealisme.”
Dalam ihwal tentang flexing ada beberapa pejabat di negeri ini yang harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gara-gara suka flexing. Kalau ada pejabat yang flexing buku apa mungkin akan diperiksa KPK walau flexing di toko buku atau perpustakaan top di dunia? Keren kan flexing buku yang dilakukan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo.
Selain flexing buku, Usman Kansong juga dapat disebut sebagai salah seorang dari penggiat literasi karena apa yang dilakukannya dengan mengunggah buku-buku dan kunjungan ke toko buku atau perpustakaan dan menulis serta menerbitkan buku telah menggugah literasi di era digital.
Mungkin ke depan Usman Kansong pantas untuk diusulkan menjadi Duta Baca Indonesia menggantikan Duta Baca Indonesia saat ini Gol A Gong, seperti Duta Baca Indonesia sebelumnya, Andy F Noya dan Najwa Shihab yang sama-sama berlatar belakang jurnalis dan sama-sama pernah bergabung di Metro TV.
Sebelum buku “Toko Buku Terakhir” terbit, pada pertengahan Mei 2023 manajemen Toko Buku Gunung Agung berencana untuk menutup outlet yang masih tersisa sampai akhir 2023.