Toko Buku Terakhir Bukan Buku Terakhir Usman Kansong
KAKI BUKIT – Seorang jurnalis yang kini mendapat amanah bertugas di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia baru saja menerbitkan buku terbarunya yang berjudul “Toko Buku Terakhir.”
Jurnalis tersebut bernama Usman Kansong yang menjabat sebagai Direkktur Jendral (Dirjen) Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo. “Usman” demikian kami memanggilnya saat baru memulai karir jurnalistiknya di Harian Republika, namun kini saya minta izin memanggilnya dengan panggilan”Pak Dirjen.”
Buku yang baru terbit pada awal Agustus 2023 tiba di Palembang pada Rabu, 9 Agustus 2023 dikirim langsung oleh Pak Dirjen dari Jakarta. Buku “Toko Buku Terakhir” yang ditulis Usman Kansong menjadi buku ketiga yang berjejer menjadi koleksi di rak buku.
Buku pertama yang ditulis mantan News Current Affairs Manager Metro TV, yang saya koleksi berjudul “Televison News Reporting & Writing.” Lalu buku kedua berjudul “Jurnalisme Keberagaman Untuk Konsolidasi Demokrasi.” Untuk kedua buku ini diperoleh dengan membeli di toko buku, berbeda dengan buku “Toko Buku Terakhir” yang langsung dikirim Pak Dirjen langsung dari Jakarta dan diantar Pak Pos ke rumah. “Terima kasih Pak Dirjen atas traktiran bukunya.”
Buku “Toko Buku Terakhir” yang ditulis pria kelahiran Jakarta, 13 April 1970 adalah buku kedelapan yang ditulis dan terbit. Buku lainnya, “Ekonomi Media : Pengantar Konsep dan Aplikasi,” “Medan : Pasang Surut Peradaban Kota Perkebunan,” dan “ICMI Bergerak : Lintasan 10 Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia.”
Usman Kansong yang berlatar belakang sebagai seorang wartawan atau jurnalis, membaca buku dan menulis buku adalah bukan suatu yang asing. Saya teringat dengan pernyataan tokoh pers senior Jakob Oetama yang banyak dikutip. Untuk menyemangati para jurnalis muda, Jakob Oetama mengatakan, “Menulis buku adalah mahkota buat wartawan.”
Wartawan senior lainnya, Amarzan Loebis yang pernah bekerja di majalah Tempo mengatakan, “Jangan menyebut diri sebagai wartawan senior kalau belum pernah menulis buku. Kalau belum menulis buku, istilah yang lebih tepat adalah ‘wartawan tua’.”
Atau ada sindirian lainnya, jika buku adalah mahkota bagi seorang wartawan yang telah menulis atau menerbitkan buku, bagaimana dengan wartawan yang sudah lama jam terbangnya dan mengaku wartawan senior tapi belum pernah menulis atau menerbitkan satu judul buku pun?
Jawaban dari pertanyaan tersebut, saya kutip sindiran AM Hoeta Soehoet pendiri dan juga Rektor IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ) Jakarta dulu bernama Sekolah Tinggi Publisistik (STP). Menurutnya, kelemahan wartawan hanya bisa menulis berita, bukan menulis buku. “Wartawan yang sampai hari tuanya tidak sekalipun pernah menulis buku, hanya pantas disebut sebagai wartawan bangkotan.”