Hari Buruh, SK Trimurti, Marsinah dan Wiji Thukul
Sebelum Marsinah meninggal, tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para kepala bagian. Hari itu Marsinah pergi ke Kantor Depnaker Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 buruh PT CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Aksi unjuk rasa mendapat perlawanan dari aparat keamanan pabrik dan ada beberapa buruh yang terkena PHK tanpa di beri pesangon. Lalu 8 Mei 1993 Marsinah diculik dan dibunuh serta di lecehkan dan tewas.
Kematian Marsinah menjadi perhatian banyak pihak di Indonesia dan di dunia. Memang ada tersangka yang diadili di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Diantara terdakwa yang diseret ke meja hijau ada yang kemudian diputus bebas di pengadilan tingkat banding. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tahun 1995 para tersangka bebas murni.
Polisi pada September tahun 1997, menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan dalih Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) korban terkontaminasi (tercemar).
Kisah perjuangan Marsinah kemudian banyak dituangkan dalam karya-karya seni, seperti pementasan monolog “Marsinah Menggugat” oleh Ratna Sarumpaet. Setelah kasus Marsinah ditutup menurut Ratna Sarumpaet, negara tengah berusaha membungkam rakyat Indonesia mempersoalkan nasib buruh kecil dari Sidoarjo itu.
Sebagai protesnya lalu lahir karya monolog Marsinah Menggugat yang pementasannya di beberapa kota pada masa Orde Baru banyak mendapat penolakan dari aparat keamanan masa itu.
Juga ada puisi berjudul “Dongeng Marsinah” yang ditulis penyair besar Indonesia Sapardi Djoko Damono (almarhum). Juga ada film berjudul “Marsinah” (Cry Justice) tahun 2001 karya sutradara Slamet Rahardjo. Semua karya seni itu merepresntasikan tentang perlawanan buruh terhadap kekuasaan dan segala bentuk represi yang dilakukan pada masa Orde Baru. Representasi represi Orde Baru terhadap buruh ditunjukkan dalam bentuk teror dan intimidasi.
Semua nasib buruh pada masa Orde Baru terpotret dalam puisi-puisi protes sosial dari seorang Wiji Thukul. Potret kepedihan buru masa Orde Baru bisa terlihat dari larik puisi dalam buku kumpulan puisi berjudul “Nyanyian Akar Rumput.” Melalui puisi-puisinya seperti berjudul “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, dan “Leuwigajah” memotret kenyataan sosial nasib buruh yang pedih pada masa Orde Baru.
Nasib Wiji Thukul sendiri tidak jelas sampai kini keberadaannya. Setelah krisis 1998 yang menumbangkan Orde Baru, istrinya melaporkan WijiThukul hilang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Alam sejarah sastra Indonesia nama Wiji Thukul seperti terlupakan sosoknya sebagai penyair sekaligus aktivis pemberontak.
Wiji Thukul bukan hanya sekedar menulis puisi, ia juga seseorang yang pernah menjadi buruh kemudian menjadi aktivis buruh yang turut menggerakkan buruh untuk melakukan aksi protes terhadap pemilik pabrik dan penguasa Orde Baru guna memperjuangkan nasib mereka. Sebagai aktivis gerakan buruh Wiji Thukul masa itu merasakan langsung tindak kekerasan dari aparat keamanan saat dirinya bersama buruh lainnya memperjuangkan nasib mereka. Wiji Thukul berjuang melalui puisi sekaligus aksi. (maspril aries)