Hari Buruh, SK Trimurti, Marsinah dan Wiji Thukul
Pasca proklamasi kemerdekaan mulai lahir berbagai serikat buruh. Kemerdekaan memberi harapan bagi para buruh untuk mendapatkan hak kebebasan berserikat dan berkumpul, hak mogok, hak berdemonstrasi, dan kesempatan memperbaiki taraf kehidupan.
Perwakilan buruh juga duduk di parlemen pada masa itu. Seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) mendapat 40 kursi di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) oleh pemerintah pada tahun 1945.
Selain tokoh pria, pada masa lalu Indonesia juga memiliki tokoh pergerakan buruh dari perempuan, yaitu Surastri Karma Trimurti atau lebih dikenal dengan SK Trimurti (1912–2008). Dia adalah figur vital dalam memobilisasi buruh perempuan dalam revolusi Indonesia.
Posisi buruh sangat vital saat awal kemerdekaan Indonesia, mereka merebut secara cepat berbagai pabrik, kantor, pertanian, perkebunan, perusahaan yang dahulu penjajah Belanda dan Jepang). Semua itu menjadi Republik Indonesia.
SK Tirmurti dalam “Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah,” (1986) menjelaskan bahwa buruh adalah pelaksana yang efektif dalam kegiatan pengambil-alihan tersebut karena mereka berada di mana-mana sepanjang sektor-sektor yang diambil tersebut berada sesuai dengan semangat Proklamasi Indonesia tahun 1945.
SK Trimurti sebagai aktivis pergerakan tahun 1946 turut mendirikan Partai Buruh Indonesia. Kalangan buruh perempuan mendirikan Barisan Boeroeh Wanita (BBW) yang diketuai oleh Trimurti.
Organisasi ini berdiri dengan memberi pendidikan dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, khususnya arti penting persatuan. Pada 1 Mei 1946 pada peringataan Hari Buruh, BBW telah berhasil mengumpulkan calon pemimpin buruh perempuan untuk dilatih selama dua bulan.
Pada masa kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifuddin (1947-1948) SK Trimurti ditunjuk menjadi Menteri Perburuhan pertama (sekarang Kementerian Tenaga Kerja). Pemerintah masa itu mengesahkan Undang-undang Tenaga Kerja No 33 tahun 1947.
Undang-Undang ini dinilai berhasil memuat hal-hal yang progresif untuk zaman itu. Seperti pasal-pasal yang mengatur tenaga perempuan. Seperti mengatur, perempuan tidak diperbolehkan bekerja pada malam hari kecuali pekerjaannya mensyaratkan demikian seperti bidan dan perawat.
Juga melindungi tenaga kerja perempuan dari pelecehan seksual serta menjamin hak cuti 3 bulan bagi tenaga kerja yang hamil dan akan melahirkan.
Buruh Orde Baru
Pasca Indonesia merdeka, dengan kehadiran Orde Baru ternyata tak kunjung mengubah nasib buruh, justru nasib buruh masa itu sangat memperihatinkan, jika tak ingin disebut mengenaskan. Kapitalisme yang terus tumbuh dengan subur menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial.
Pemodal atau investor berlomba mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mempekerjakan buruh dengan upah yang rendah atau buruh upah murah. Buruh dituntut untuk bekerja dengan sangat keras, tetapi tidak diimbangi dengan upah yang sepadan.
Juga masa itu tercatat banyak kisah penganiayaan terhadap buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja, salah satunya yang sangat terkenal adalah kasus Marsinah, buruh dan aktivis yang meninggal sebab dibunuh oleh pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
Marsinah adalah buruh PT CPS (Catur Putra Surya) pabrik yang memproduksi jam tangan ditemukan mati mengenaskan pada 8 Mei 1993. Marsinah gugur ketika memperjuangkan pembentukan SPSI atau serikat pekerja di pabriknya, di Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim).
Marsinah adalah seorang buruh yang memperjuangkan keadilan atas hak-nya. Marsinah seorang buruh pabrik PT Catur Putra Surya di Porong, Sidoarjo. Marsinah kelahiran 10 April 1969 berasal dari desa Nglundo, Sukomoro. Orang tuanya buruh tani yang membuat dirinya memutuskan mencari pekerajaan ke kota.
Sebagi buruh Marsinah bersama teman-temannya memperjuangkan kenaikan upah, namun perjuangannya tidak ada kepastian dari pemilik perusahaan. Saat perjuangan buruh Marsinah mendapat kepastian dan titik terang atas upahnya, beberapa hari setelah itu Marsinah ditemukan tewas di salah satu hutan di dusun Jegong, Desa Wilangan.