Home > Politik

Mencatat Kembali Menjelang Setengah Abad Malari

Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974 terjadi bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.

Setelah kerusuhan terjadi, reaksi Presiden Soeharto sangat marah. Peristiwa Malari telah menjadi pertanda bahwa stabilitas masa pemerintah Orba rapuh. Kemudian Soeharto melalui aparatnya melakukan penangkapan dan pengamanan sejumlah aktivis mahasiswa yang diadili terkait dengan Malari.

Penguasa Orba selain menangkap tokoh-tokoh atau aktivis mahasiswa juga bertindak memberedel sejumlah media cetak yang terbit di Jakarta. Francois Raillon dalam bukunya “Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia” (1985) menulis, “Selain penangkapan aktivis mahasiswa, pemerintah juga melakukan pemberedelan terhadap beberapa media cetak. Berbagai media cetak tersebut diberedel dan ditutup secara bertahap dalam beberapa hari dengan garis besar alasan penutupan berupa tuduhan melakukan provokasi terhadap masyarakat.”

Pemerintah memberedel atau menutup koran atau surat kabar Nusantara dan Mahasiwa Indonesia pada 15 Januari 1974. Kemudian anggal 21 Januari 1974 memberedel Harian KAMI, Indonesia Raya, Abadi, dan The Jakarta Times. Pada 23 Januari 1974 pemerintah menutup penerbitan surat kabar Pedoman dan Ekspres.

Pemerintah menganggap koran atau surat kabar tersebut terus-menerus melakukan provokasi yang mengganggu ketertiban umum, sehingga perlu ditertibkan.

Selain itu ada 45 orang tokoh mahasiswa dan politik ditahan pemerintah Orba diantaranya, Rahman Tolleng, Hariman Siregar, Subadio Sastrosatomo, Prof. Sarbini Sumawinata (mantan pemimpin PSI), Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan H.J. Princen (Ketua Liga Hak-Hak Azazi Manusia) dan lainnya. Mereka dituding otak dari demonstrasi Malari yang menyebabkan terjadinya kerusuhan hebat.

Sebagai penutup, Jenderal A.H Nasution dalam bukunya “Mengawal Nurani Bangsa Jilid III : Bersama Mahasiswa “Aset Utama Pejuang Nurani,” (2008) merekam peristiwa dialog antara Presiden Soeharto pada 11 Januari 1974 dengan wakil mahasiswa dari 35 perguruan tinggi se-Indonesia di Binagraha.

“...Sementara Presiden berdialog dengan Dema-Dema, mahasiswa lainnya mengumandangkan nyanyian-nyanyian di ruangan pers, antara lain dengan syair: “Di sini Jepang, di sana Jepang, dimana-mana modal Jepang.” Dilakukan dengan gaya lagu “Cangkul yang dalam”, yang berbunyi variasi “Cangkul-cangkul yang dalam, cukong yang subur wajib dikubur”. Juga dinyanyikan lagu naik gunung yang diubah menjadi “Naik-naik si harga minyak, tinggi-tinggi sekali. Tiap tahun harganya naik untuk ratu melulu; kiri-kanan kulihat saja, gubuk-gubuk melulu....” (maspril aries)

× Image