Mencatat Kembali Menjelang Setengah Abad Malari
Dalam buku “Hariman dan Malari : Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing,” Hariman Siregar juga menuturkan bahwa ada sekelompok massa, yang menurutnya merupakan orang-orang binaan Opsus melakukan pembakaran di sekitar wilayah Proyek Senen.
Dalam edisi khusus majalah Tempo edisi Januari 2014 dengan wajah sampul “Massa Misterius Malari,” menulis tentang sabotase yang dilakukan oleh sekumpulan massa di daerah Proyek Senen, Jakarta Pusat. Sabotase tersebut ditujukan untuk menimbulkan suasana yang kacau sehingga jalannya protes mahasiswa pada Peristiwa Malari menjadi anarkis dan destruktif dengan cara melakukan pembakaran di daerah Proyek Senen.
Kerusuhan kemudian melebar sampai ke Jalan Juanda, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Gajah Mada dan Kawasan Jakarta Kota. Korban jiwa tercatat 11 orang tewas, 17 orang luka berat dan 120 orang luka ringan, sedangkan kerugian lain berupa terbakarnya 144 gedung, 807 mobil dan 187 sepeda motor.
Data lain dari kerusuhan tersebut mencatat 11 orang meninggal, 300 luka-luka, dan 775 ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak dan dibakar, 144 bangunan dirusak, serta 160 kilogram emas hilang dijarah.
Kerusuhan yang terjadi pada peristiwa Malari tersebut mencederai aksi mahasiswa yang menyampaikan kritik mereka terhadap kebijakan pemerintah yang pro modal asing tidak pro rakyat kecil. Hariman Siregar tidak menyangka bahwa aksi demonstrasi mahasiswa yang bertujuan untuk menentang modal asing berakhir menjadi anarkis.
Menurut Sjahrir tokoh lain dari Peristiwa Malari selain Hariman Siregar, memandang Peristiwa Malari sebagai suatu titik balik atau anti-klimaks dari peran gerakan mahasiswa Indonesia itu sendiri sebagai pengontrol kekuasaan.
Sjahrir yang saat Malari terjadi menjabat Sekretaris Jenderal Group Diskusi Universitas Indonesia (GDUI), berpendapat bahwa Malari adalah upaya untuk menggiring aktivis, khususnya mahasiswa dan pemuda, sebagai orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas berbagai kerusuhan (vandalisme atau anarkhisme) yang terjadi.
Mengutip A. Yogaswara dalam “Dalang Peristiwa 15 Januari 1974,” (2009) bahwa aksi protes-protes menentang modal asing sebelumnya sudah terjadi awal-awal Januari 1974. Aksi protes mahasiswa tidak hanya terjadi di Jakarta namun terjadi juga di Bandung, Yogyakarta, Makassar dan Medan. Mahasiswa saat itu mengusung berbagai pernyataan protes, seperti “Bubarkan Aspri,” “Sudjono Hoemardhani Dalang Makelar Jepang,” “Ali Moertopo Calo Politik,” “Jepang Merusak Indonesia” dan lain sebagainya.
Protes dan kritik mahasiswa pada masa itu bukan suatu yang tiba-tiba karena sebelum aksi mahasiswa terjadi, ada berbagai forum diskusi yang terbentuk, antara lain adalah Petisi 24 Oktober, Ikrar Bersama 10 November dan Seminar “Untung-Rugi Modal Asing”. Seluruh forum diskusi tersebut diselenggarakan pada tahun 1973. Selain itu masih ada peristiwa-peristiwa lain yang mendahului peristiwa Malari 1974.