Home > Politik

Mencatat Kembali Menjelang Setengah Abad Malari

Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974 terjadi bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.

Hariman Siregar menjabat Ketua Dema UI 1973-1974 ditahan selama 22 bulan di tiga rumah tahanan berbeda. Ditahan di Rumah Tahanan Gang Buntu, Kebayoran Lama, Rumah Tahanan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung Ragunan dan RTM Boedi Oetomo. Kemudian menjalani masa hukuman di penjara Nirbaya Pondok Gede setelah divonis 1 tahun 8 bulan.

Menurut Hariman Siregar dalam buku “Hariman dan Malari : Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing” dengan editor Amir Husain Daulay dan Imran Hasibuan (2011), gerakan mahasiswa angkatan 1974 yang berujung huru-hara tersebut, berangkat dari keprihatinan akan situasi kehidupan berbangsa bernegara saat itu, sehingga mahasiswa memutuskan untuk bergerak mengingatkan pemerintah atas strategi kebijakan pembangunan yang diambil.”

Dalam buku tersebut Hariman menjelaskan ada beberapa alasan mengapa mahasiswa Indonesia memutuskan untuk bangkit melawan : (1) strategi pembangunan Orde Baru mengakibatkan hanya segelintir orang saja yang dapat menikmati hasil pembangunan, mereka paling-paling terdiri dari elit militer, elit birokrasi sipil, pengusaha dan komperador asing,

(2) atas nama stabilitas, represi politik di dalam negeri meningkat, hak-hak sipil dan politik warga negara terabaikan, akibatnya semakin sulit bagi rakyat secara politik memperjuangkan hak-haknya, dan

(3) ketergantungan pada pihak asing semakin meningkat, negara-negara donor dan lembaga-lembaga keuangan internasional dapat dengan mudah memaksakan kehendaknya, seperti terlihat dalam tender proyek telekomunikasi dan beberapa paket deregulasi yang disodorkan Bank Dunia.

Merujuk pada buku berjudul “Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974” yang ditulis Heru Cahyono (1998), “Salah satu kebijakan pemerintah Orde Baru yang bercorak kapitalis, yaitu membuka masuknya investasi dan bantuan modal asing. Kebijakan investasi asing satu diantaranya dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam (SDA), pemerintah Orde Baru mengupayakan pemanfaatan hutan-hutan tropis di luar Jawa dan pemanfaatan sumber daya tambang serta minyak bumi kepada pihak swasta.”

Untuk menunjang kebijakan investasi tersebut, pemerintah menerbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). UU ini merupakan upaya pemerintah untuk menarik investasi asing masuk ke Indonesia, khususnya untuk mengeksploitasi sumber daya tambang.

Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974 terjadi bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia. Dalam artikel majalah Tempo edisi 13 – 19 Januari 2014 berjudul “Amuk Januari 40 Tahun Silam” menceritakan bahwa peristiwa ini awalnya hanya demontrasi mahasiswa yang dilakukan pada saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Mahasiswa memprotes soal modal asing yang semakin mengalir deras. Jepang dianggap memeras ekonomi Indonesia dan membunuh pengusaha lokal.

Pada 15 Januari 1974 tersebut mahasiswa melakukan long march dari kampus UI di Jalan Salemba menuju kampus Universitas Trisakti (Usakti) Grogol pada sekitar pukul 10.30 WIB. Di kampus Usakti digelar apel, orasi sampai dengan aksi teaterikal yang berjalan lancar. Namun di luar kampus di lokasi berbeda terjadi peristiwa lain, yang mencederai aksi mahasiswa hari itu.

Dalam penelitian Yohanes de Britto Wirajati dari Universitas Sanata Dharma berjudul “Mahasiswa dan Malari di Jakarta: Telaah Perilaku Kolektif Mahasiswa Indonesia 1973-1974,” (2018) menyebutkan, Rektor Universitas Indonesia kala itu, Prof Mahar Mardjono mencatat bahwa kebakaran di Proyek Senen tersebut terjadi sekitar pukul 11.00 WIB, saat para mahasiswa masih menggelar apel di Trisakti.

Pada saat massa bubar menuju kampus masing-masing, berita terjadinya kerusuhan dan pembakaran di daerah Pasar Senen mulai beredar di kalangan peserta apel. Kerusuhan dan pembakaran di Pasar Senen membuat situasi di Ibukota pada saat itu menjadi mencekam.

× Image