Penyair Puisi Mbeling itu Telah Pergi Selamanya
Penelitian Puisi Mbeling
Dalam buku “Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas” yang ditulis Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Yudiono K. S (2001) menjelaskan, “Kelahiran puisi mbeling pada mulanya didorong oleh ketidakseimbangan hasrat dan kreativitas anak muda dalam menulis puisi dengan jumlah majalah sastra yang tersedia. Majalah sastra yang pada waktu itu hanya ada tiga tentu saja memiliki keterbatasan dalam menampung karya-karya sastra anak muda pada waktu itu.”
Remy Sylado pernah menyatakan, “Puisi mbeling ini memiliki dua sasaran yaitu pertama, estetika puisi yang tertawan dalam pikiran-pikiran konvensional yang diungkap secara gelap dalam bahasa kiasan sehingga puisi kehilangan tanggungjawabnya terhadap realitas, dan kedua, situasi politik Orde Baru yang berdasarkan kenyataan telah dibingkai gerontokrasi yang salah kaprah dengan slogan-slogan dari pejah gesang nderek bapak ke mikul dhuwur mendem jero.” (Pernyataan Remy Sylado ini dikutip dalam buku, “Tafsir Harfiah Puisi Kontemporer Indonesia” penulis Mahmud Hidayat, 2018).
Basori dari Balai Bahasa Kalimantan Tengah dalam penelitiannya “Puisi Berhumor: Strategi Tutur Remy Sylado” (2017) menyatakan, “Berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam puisi-puisi Remy Sylado, setidaknya ada empat strategi tutur yang dipakai oleh Remy Sylado dalam puisi-puisinya. Empat strategi tersebut adalah permainan kata, asosiasi pornografi, gejala salah ucap, dan ketakterdugaan.
Menurut Basori, Remy Sylado dengan puisi mbeling-nya sangat pandai memanfaatkan kata dalam menyusun puisi-puisinya. Di samping memanfaatkan kata dalam sebuah permainan bahasa ia juga memanfaatkan beberapa strategi untuk menarik minat pembacanya.
Dengan strategi-strateginya tersebut, menempatkannya Remy Sylado sebagai penyair yang “bebas,” “nakal,” dan “mbeling.” Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukannya terhadap berbagai aturan kebahasaan tersebut dimaksudkan sebagai landasan untuk memperoleh efek lucu yang pada akhirnya menarik perhatian pembaca.
Puisi-puisi mbeling Remy Sylado pada dasarnya menyangkut pemaduan dua makna, persepsi, dan konsepsi yang berbeda. Dalam upaya pencapaian efek lucu tersebut, dua makna, persepsi, dan konsepsi itu secara kreatif dipermainkan dalam puisi sehingga memunculkan ketidakterdugaan dan keanehan yang memang merupakan syarat ke-mbeling-an.
Dari segi struktur puisi, puisi mbeling dibangun secara sederhana, dengan maksud agar puisi ini terkesan lugas, terus terang, dan apa adanya sehingga siapa pun yang membacanya bisa dengan mudah untuk memahaminya. Puisi mbeling memilih diksi atau kata-kata lugas dan bersifat denotatif dengan susunan kata dirangkai sedemikian rupa, sehingga menimbulkan sugesti pembaca untuk berpikir dan tertawa.
Di lingkungan dunia akademis, menyampaikan premis bahwa puisi mbeling saat ini eksistensinya tenggelam karena masyarakat yang memandang rendah, tidak berpesan,dan tidak berestetik. Namun puisi mbeling tetap saja menjadi obyek penelitian di khazanah pendidikan tinggi Indonesia.
Dalam buku “Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas” menyatakan bahwa pada masa kini, eksistensi puisi mbeling telah tenggelam, yang disebabkan oleh stigma dan stereotip masyarakat, khususnya masyarakat sastra (sastrawan, pembaca, dan penelaah) yang menyatakan puisi mbeling adalah puisi kosong, tidak berpesan, tidak berbobot, dan hanya berisi humor belaka, sehingga mereka seolah anti untuk memahami, membaca, atau melakukan penelitian yang lebih mendalam. Masyarakat sastra masih cenderung menilai puisi seriuslah yang memiliki nilai yang tinggi. Mereka menganggap bahwa yang bersungguh-sungguh akan lebih berharga dari pada yang hanya main-main.
Namun peneliti lain menarik kesimpulan puisi mbeling sebagai sebagai bentuk sindiran, bahwa masyarakat Indonesia suka menyingkat salam, berpikir praktis, berperilaku sombong, dan hanya memikirkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain di sekitarnya. Remy Sylado tidak hanya mendobrak sikap feodal dan rezim Orde Baru, melainkan pandangan estetika kesusasteraan yang diabsahkan atau diresmikan terhadap puisi mbeling.
Jika merujuk pada sejarah kesusastraan Indonesia, setiap masa memiliki ciri khasnya sendiri, termasuk masa atau era 70-an. Era saat itu adalah masa yang banyak menciptakan pembaharuan, baik dari segi stilistik maupun dari segi tematik. Menurut Sapardi Djoko Damono, pembaharuan itu tercipta karena tidak diberlakukan lagi aturan yang mengharuskan sastra untuk mengikuti garis golongan tertentu—politik—sejak tahun 1966, sehingga menimbulkan kebebasan bagi para sastrawan dalam proses penciptaannya. Puisi mbeling lahir pada era tersebut.