Penyair Puisi Mbeling itu Telah Pergi Selamanya
KAKI BUKIT – Siapa yang pernah tahu dan membaca puisi ini :
“yang menulis warta
= wartawan
yang menulis puisi
= puisiwan
yang menulis prosa
= prosawan
yang menulis drama
= dramawan
yang belum ditulisi
= perawan.”
Itu adalah salah satu puisi karya Remy Sylado berjudul “Akhiran Wan.” Yang tahu dengan puisi ini berarti masuk dalam klaster Generasi X atau sebagian dari generasi baby boomers jadi bukan Generasi Milenial. Generasi Milenial atau Generasi Y atau Generasi Post Millenial bisa jadi tidak tahu dengan puisi itu atau juga tidak tahu nama Remy Sylado.
Pada Senin (12 Desember 2022) tersiar kabar Remy Sylado telah meninggal dunia telah pergi selama-lamanya meninggalkan dunia yang fana. Remy Sylado yang memiliki nama Yapi Panda Abdiel Tambayong lahir di Makassar pada 12 Juli 1943. Remy Sylado juga kerap disebut Japi Tambayong. Namun ia juga memiliki beberapa nama samaran, diantaranya Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel.
Remy Sylado adalah seniman serba bisa yang memiliki profesi komplet, dari penyair, novelis, cerpenis, dramawan, kritikus sastra, pemusik, penyanyi, penata rias, aktor, ilustrator, wartawan, dan dosen.
Remy Sylado juga dikenal sebagai seorang munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya sastranya, sastrawan ini berjasa mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. “Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa,” tulis Isnaini Qodriyatul Jannah dalam penelitian berjudul “Gagasan Remy Sylado Mengenai Estetika Di Dalam Beberapa Puisi Mbeling,” selain kualitas tulisannya tidak dapat diragukan lagi. Remy Sylado pun menulis karyanya dengan mesin ketik.
Remy Sylado pada tahun 1970-1975 bergabung dengan majalah musik terbesar di Indonesia saat itu, Majalah Aktuil. Saat itu Aktuil jadi referensi musik di Indonesia dan bacaan wajib anak muda Indonesia pada masanya. Masa itu jangan mengaku jadi anak muda kalau belum membaca Aktuil. Ada yang sampai menganggap Aktuil sebagai “kitab suci” bagi para rock mania generasi tahun 1970-an.
Di Aktuil Remy Sylado memperkenalkan sastra mbeling dalam bentuk cerita bersambung “Orexas” akronim dari “Organisasi Sex Bebas” dan puisi mbeling. Mbeling itu istilah yang diambil dari bahasa Jawa yang artinya “nakal,” “kurang ajar,” ”sukar diatur,” dan “suka berontak.”
Puisi mbeling muncul pertama kali di Majalah Aktuil pada bulan Agustus 1972. Rubrik puisi mbeling hadir untuk memberi kesempatan bagi para kaum muda yang baru menulis puisi agar dapat memunculkan karyanya, sekaligus untuk menggugat hakikat dan estetik puisi yang dikurung oleh teori-teori yang bersifat kaku dan baku.
Pada tahun 1974, puisi mbeling mampu menjadi topik pembicaraan utama mampu menarik antusias publik, sehingga dalam kuantitasnya melahirkan hampir 10.000 penyair.
Dalam “Ensiklopedia Sastra Indonesia” tertulis, “Puisi mbeling adalah bagian gerakan mbeling yang dicetuskan Remy Sylado; suatu gerakan yang dimaksudkan untuk mendobrak sikap rezim Orde Baru yang dianggap feodal dan munafik.
Benih gerakan ini mulai disemaikan oleh Remy Sylado pada tahun 1971 ketika ia mementaskan dramanya yang berjudul Messiah II di Bandung. Namun, waktu itu istilah mbeling belum diperkenalkan. Istilah itu baru dipopulerkan pada tahun 1972 ketika Remy mementaskan dramanya Genessis II di Bandung. Dalam undangan pertunjukan drama itu Remy menyebut teaternya sebagai “Teater Mbeling.”
Puisi mbeling hadir hendak mendobrak pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai dengan stilistika yang baku. Pandangan ini, menurut gerakan puisi mbeling, hanya akan menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas.
Bagi gerakan puisi mbeling bahasa puisi dapat saja diambil dari ungkapan sehari-hari, bahkan yang dianggap jorok sekalipun. Yang penting adalah apakah puisi yang tercipta dapat menggugah kesadaran masyarakat atau tidak, berfaedah bagi masyarakat atau tidak? Pendek kata, dalam kamus gerakan puisi mbeling tidak ada istilah major art atau minor art.