DBH Migas untuk Meranti dan Kutukan SDA
Walau DBH migas menjadi hak daerah yang harus didistribusikan pemerintah pusat, namun haruis diingat bahwa besarnya penerimaan daerah dari DBH sangat tergantung pada sifat alami dari industri hulu migas, termasuk situasi makro industri migas secara internasional. DBH migas juga dipengaruhi oleh karakteristik kontrak bagi hasil yang diadopsi pemerintah indonesia.
Bagi daerah yang ingin DBH meningkat dan cepat didistribusikan pemerintah melalui Kementerian Keuangan adalah daerah penghasil migas adalah dengan mendukung kegiatan industri hulu migas sejak tahap eksplorasi sampai produksi. Pemerintah daerah mendukung dengan memberikan kelancaran perizinan dan juga dukungan atas kelancaran kegiatan operasi saat sudah berjalan.
Dengan semakin lancar kegiatan operasi, tentunya akan semakin mempercepat penerimaan negara, sehingga DBH akan segera bisa direalisasikan.
Sebagai bagian dari kebijakan fiskal maka DBH migas berkaitan dengan APBD. Penerimaan dari DBH migas dan tambah penerimaan daerah dari sumber lainnya sebagai pendapatan daerah akan memperbesar volume APBD. Namun harus diingat bahwa APBD yang besar bukanlah jaminan bahwa penduduk daerah tersebut akan hidup lebih sejahtera bila dibandingkan dengan penduduk yang hidup pada daerah dengan APBD yang lebih rendah. Struktur belanja daerah akan menentukan kinerja pembangunan daerah tersebut.
Dalam era desentralisasi fiskal, belanja daerah adalah salah satu komponen terpenting dalam APBD. Melalui belanja daerah diharapkan adanya peningkatan pelayanan di berbagai sektor terutama sektor publik.
Kutukan SDA
Juga harus diingat bahwa migas adalah SDA yang tidak terbarukan. Artinya, DBH migas yang diterima daerah suatu saat akan berkurang bahkan habis saat cadangan migas di daerahnya nya habis. Bagi pemerintah daerah harus fokus dalam pemanfaatan DBH dengan mengalokasikannya untuk membangun ketahanan ekonomi daerah dari sektor non migas, sehingga kemakmuran daerah tetap bisa dipertahankan dan kesejahteraan rakyat terus meningkat meski cadangan migas habis. Hanya dengan cara itu DBH migas akan benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat daerah, bukan menjadi kutukan seperti ditulis Joseph E Stiglitz.
Joseph E Stiglitz adalah guru besar pada Columbia University, New York dan penerima anugerah Nobel bidang ekonomi tahun 2001, “Ada sebuah fenomena menggelitik yang para ahli ekonomi menyebutnya ‘kutukan sumberdaya alam.’ Rata-rata negara-negara kaya sumberdaya alam memiliki performa lebih buruk ketimbang negara dengan anugerah alam yang lebih sedikit – cukup bertentangan dengan apa yang mungkin seharusnya terjadi.”
Banyak teori yang menyatakan bahwa dana minyak bumi dan gas merupakan salah satu skema yang diterapkan oleh beberapa negara dalam upaya untuk keluar dari fenomena kutukan Sumber Daya Alam (Natural Resource Curse). Fenomena kutukan SDA terjadi ketika negara-negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam melimpah yang seharusnya memiliki pertumbuhan yang cepat, memiliki tingkat kemiskinan yang rendah, dan tingkat kesejahteraan yang tinggi cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, tingkat kemiskinan yang lebih tinggi, dan kesejahteraan yang rendah.
Sebagai contoh, pada periode 1960–1971 terdapat 30 negara-negara Sub Sahara Afrika sebagai pengekspor mineral tambang mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat. Penelitian lain menemukan bahwa negara-negara pengekspor mineral hanya memiliki rata-rata pertumbuhan berkisar 1,9 persen. Bahkan, “price boom” minyak tahun 1971 dan 1983 tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Keberadaan sumber daya alam akan menjadi bencana ketika perekonomiannya tidak maju atau secara pendapatan perkapita negara tinggi, namun ketimpangan antara orang kayadan miskin tinggi,” tulis Joseph E Stiglitz.
Jeffrey D Sachs dan Andrew M Warner dalam “Natural Resoutce Abundance and Economic Growth,” (2007) menulis, “Keberlimpahan Sumberdaya Alam tidak semata membawa dampak positif dan justru cenderung mengarah pada bencana ekonomi.”
Menurut pakar pembangunan ekonomi dunia dan pemberantasan kemiskinan tersenut, terdapat dampak negatif yang substansial dari keberlimpahan sumberdaya alam terhadap pembangunan manusia. Gejala semacam ini pun dinyatakan sebagai bentuk Natural Resources Curse atau kutukan sumberdaya alam. (maspril aries)