DBH Migas untuk Meranti dan Kutukan SDA
Kebijakan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan merupakan wujud dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah dengan tujuan menyediakan alokasi dana untuk pembiayaan penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan daerah dalam melayani masyarakatnya. Salah satu bentuk dana perimbangan adalah dana bagi hasil sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi (DBH Migas).
Dalam PP No. 55 tahun 2005 tentang DanaPerimbangan dijelaskan bahwa DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaanotonomi daerah
Pengertian DBH adalah adalah pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuannya untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.
Jenis DBH tersebut meliputi pajak dan sumberdaya alam. Pajak diantaranya PBB-P3, PPh, dan CHT. Sementara sumberdaya alam (SDA) mencakup hutan, minerba, migas, pabum dan ikan.
Dana bagi hasil dibagi kepada daerah penghasil sesuai dengan porsi yang ditetapkan dalam UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Dibagi dengan imbangan daerah penghasil mendapatkan porsi lebih besar, daerah lain (dalam provinsi bersangkutan) dengan porsi tertentu yang ditetapkan dalam UU. Penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan tahun berjalan (Pasal 23 UU No.33/ 2004).
Jadi DBH sebagai salah satu instrumen fiskal untuk menjaga keutuhan NKRI melalui pembagian sumber penerimaan negara yang adil kepada daerah, baik yang berasal dari penerimaan pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) SDA untuk digunakan seluas-luasnya demi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Mengutip dari “Kebijakan Dana Bagi Hasil Tahun Anggaran 2020-2021” Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa tujuan kebijakan DBH : Pertama, untuk mengurangi kesenjangan vertikal antara pusat dan daerah (vertical imbalance) → pembagian dengan porsi tertentu antara pemerintah dan daerah penghasil.
Kedua, untuk mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah (horizontal imbalance) → pembagian secara merata untuk daerah lain yang berada di dalam provinsi yang sama dengan daerah penghasil.
Khusus DBH untuk minyak dan gas bumi berbeda dalam persentase sebagaimana diatur di dalam UU No. 33 tahun 2014. Untuk minyak bumi, pemerintah pusat mendapatkan 85 persen sedangkan 15 persen dibagi ke daerah. Sementara, untuk gasbumi, pemerintah pusat mendapatkan 70 persen sedangkan30 persen dibagi ke daerah. Pemerintah pusat masih menambahkan 0,5 persen dari bagian bagi hasilnya kepada daerah untuk dana pendidikan. Sehingga share pemerintah pusat berkurang 0,5 persen, sedangkan share daerah bertambah 0,5 persen.
Harus diakui hingga saat ini, walau Indonesia bukan lagi negara eksportir minyak bumi dan bukan anggota OPEC maka sektor minyak dan gas bumi sebagai salah satu dari sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas penting yangmenguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Maka protes yang disampaikan Bupati Kabupaten Meranti Muhammad Adil terkait dengan DBH adalah protes dan pertanyaan yang harus mendapat jawaban sehingga dapat merasakan keadilan. DBH migas bagi banyak daerah termasuk Kabupaten Meranti menjadi suatu yang vital khususnya berkaitan dengan pengentasan kemiskinan rakyat di daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkalis tersebut.
Selama ini ada ironi yang kasat mata, antara DBH migas dan kekayaan migas di beberapa daerah dengan kesejahteran rakyatnya. Salah satunya, walau sudah mendapatkan suntikan dana yang besar akan tetapi masih banyak daerah penghasil migas besar yang kehidupan rakyat berada di bawah garis kemiskinan. Pada daerah penghasil migas masih dijumpai warga yang belum dapat menikmati air minum atau air bersih yang layak. Masih ada warga yang belum menikmati infrastruktur yang kondisinya baik dan sebagainya.