Wartawan Mencuri Kata-Kata untuk Sebuah Lomba Jurnalistik
Pengalaman Juri
Awal Oktober 2020 saya mendapat amanah dari Manajer Humas, Komunikasi dan Administrasi Korporat PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Iko Gusman menjadi juri pada lomba “Menulis Bebas untuk Jurnalis” yang mengusung tema tentang “Kesaktian Pancasila.” Masa perlombaan hanya tiga hari, yaitu 3 – 5 Oktober 2020. Ada 36 karya tulis peserta yang berasal dari Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat.
Dalam kriteria penilaian, saya menempatkan orisinal atau keaslian karya tulis menjadi penilaian pertama, baru penggunaan bahasa Indonesia dan kesesuaian dengan tema. Orisinal atau tidak sebuah karya tulis berpengaruh pada kriteria penilaiannya selanjutnya. Untuk menjaga fair play, penilaian dilakukan dengan menghapus nama atau identitas penulis pada copy karya tulis peserta, yang tercantum hanya judul dan naskah karya tulis.
Dari penilaian ditemukan 10 persen karya tulis peserta mengandung unsur plagiat atau penjiplakan dari karya tulis orang lain yang sudah dipublikasikan. Untuk mendeteksi cari tahu unsru plagiat menggunakan perangkat aplikasi yang tersedia di internet.
Dari pelacakan ditemukan ada peserta yang melakukan plagiarisme atau karya plagiat dalam isi karya tulisnya sampai 60 persen menjiplak karya pihak lain yang sudah lebih dulu terpublikasi dan bisa dilacak jejak didigitalnya. Yang lebih parah ada sampai 99,9 persen plagiat, yang diubah hanya pada judul dan kata pertama pada alinea pertama.
Mengapa plagiat terjadi? Apakah peserta meyakini juri tidak akan tahu kalau mereka melakukan plagiat? Perilaku plagiat tersebut tidak jauh berbeda dengan praktek copy paste dalam jurnalisme. Jika seorang wartawan atau jurnalis mengikuti lomba karya tulis dengan cara mencuri kata-kata atau plagiat itu adalah hal yang diharamkan. Plagiat oleh seorang jurnalis adalah pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Apa itu Plagiat?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “plagiat” berarti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan. Sementara itu kata “plagiarisme” berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta.
Dengan berselancar di dunia maya, ditemukan kata “plagiat” berasal dari bahasa Belanda plagiaat yang artinya “meniru atau mencontoh pekerjaan orang lain tanpa izin.” Sementara kata “plagiarisme” berasal dari bahasa latin yaitu “plagiarius” yang artinya merampok atau pembajak. Plagiarisme adalah tindakan mencuri atau pembohongan intelektualisme.
Mengutip Alexander Lindsey adalam tulisannya berjudul “Plagiarism and Originality” memberi arti bahwa plagiat adalah tindakan penjiplakan ide dan gagasan orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri dengan menggunakan karya orang lain tanpa menyebut sumbernya dan berakibat timbulnya spekulasi yang salah dan keliru terhadap sebuah ide, gagasan, opini dan karya.
Menurut wartawan senior Amarzan Loebis yang dimuat di Tempo.co.id, plagiat adalah perbuatan lancung. Karangan yang merepresentasikan pendapat atawa buah pikiran melekat pada hak individual sang pengarang yang, sesungguhnya, dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Plagiator, dengan demikian, sudah menginjak-injak hak individual itu.
Plagiat itu menunjukkan kemiskinan intelektual dan sebuah “kejahatan terencana.” “Tidak ada tindakan spontan dalam proses plagiarisme. Sang plagiator (penjiplak) pastilah membaca lebih dulu karangan yang akan dijiplaknya, sebelum merasa tertarik mencaplok karangan itu dan mengakuinya sebagai karangan sendiri,” tulis Amarzan Loebis.