---

Pada perang dagang antara AS – China yang lalu terjadi bahwa ekspor China ke AS yang mengalami penurunan, demikian pula ekspor China ke Eropa, Korea Selatan, Australia, dan Asia Tenggara ikut memburuk, dampaknya sangat berpengaruh juga pada perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi global akan melemah akibat meningkatnya hambatan perdagangan dan meningkatnya ketegangan geopolitik. Jika perang dagang berkelanjutan tak kunjung berakhir, maka ketidakpastian kebijakan perdagangan akan berlangsung lama.

Menurut Joseph E Gagnon, “If you look across countries, there is no evidence that high tariffs reduce your trade deficit”. Artinya bahwa penetapan tarif yang lebih tinggi tidak menjamin berkurangnya defisit perdagangan (Center for Strategic and International studies, 2019). Hal terpenting yang kita ketahui sekarang dan dampak terbesar dari perang dagang terhadap neraca perdagangan AS dan China adalah adanya defisit dan surplus.

Tidak ada keuntungan dalam perang dagang ini bahkan terjadi implikasi terhadap negara-negara di dunia, salah satunya adalah Indonesia yang merupakan mitra kerja kedua negara yang merupakan negara yang dibanjiri barang-barang impor China dan AS. Dapat disimpulkan, dampak negatif dari kebijakan sebagai “senjata” perang dagang adalah, perlambatan ekonomi global, adanya rantai pasokan yang terganggu dan inflasi.

Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim (2012 – 2019) berpesan, “Selama ini tidak ada pihak yang menang dari perang dagang sehingga kami harap yang terbaik saja. Negara-negara lain tentu harus berhati-hati menyikapi ini”.

Jadi kebijakan Tarif Trump merupakan refleksi dari perubahan besar dalam sistem perdagangan global, dari era liberalisasi menuju era proteksionisme strategis. Meskipun menimbulkan tantangan, situasi ini juga membuka peluang bagi negara-negara terkena kebijakan tarif AS, termasuk Indonesia untuk beradaptasi, melakukan reformasi, dan memperkuat daya saing dalam persaingan ekonomi internasional yang semakin kompleks dan dinamis. (maspril aries)