Hak Cipta Industri Musik Terancam AI, Paul McCartney Bersuara dan UUHC
UU Nomor 28 Tahun 2014 menegaskan bahwa hak cipta hanya dapat dimiliki oleh manusia, baik secara individual maupun kelompok. Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta menyebutkan bahwa "Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Dengan demikian, karya-karya yang dihasilkan oleh AI tidak dapat dilindungi oleh UU Hak Cipta, karena AI bukan merupakan subyek hukum yang dapat memiliki Hak Cipta. Hak Cipta hanya dapat dimiliki oleh manusia sebagai pencipta.
Mengutip penelitian Nadia Intan Rahmahafida dan Whitney Brigitta dalam “Analisis Problematika Lukisan Ciptaan Artificial Intelligence Menurut Undang-Undang Hak Cipta” (2022), Artificial Intelligence belum dapat dikategorikan sebagai pencipta suatu ciptaan karena bukan merupakan subjek hukum, serta penggunaan ciptaan untuk pemanfaatan Artificial Intelligence di bidang kreatif tetap harus menghormati dan menghargai karya cipta dengan memperoleh izin dari pencipta ciptaan tersebut.
Menurut Bagus Gede Ari Rama, Dewa Krisna Prasada dan Kadek Julia Mahadewi dalam “Urgensi Pengaturan Artificial Intelligence (AI) dalam Bidang Hukum Hak Cipta di Indonesia” (2023), UUHC Indonesia tidak mengenal AI sebagai subjek hukum, sehingga AI berdasarkan pada UUHC Indonesia tidak dapat digolongkan sebagai pencipta.
Penelitian ini menyatakan, potensi AI untuk diakui sebagai entitas baru berkaitan dengan subjek hukum selain manusia dan badan hukum yang sebelumnya telah diakui sebagai subjek hukum di Indonesia sangat terbuka, mengingat AI dapat dipersamakan dengan badan hukum sesuai dengan teori-teori badan hukum serta adanya konsep Work Made For Hire yang terdapat dalam UUHC Amerika Serikat dapat diadopsi oleh Indonesia untuk mengakomodir AI sebagai suatu entitas baru berkaitan dengan subjek hukum yang diakui di Indonesia.
Kecerdasan buatan (AI) menjadi tantangan baru dalam konteks perlindungan hak cipta, terutama dalam hal siapa yang berhak atas karya yang dihasilkan oleh AI. UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 dapat menjadi landasan untuk mengatur hal ini, tetapi mungkin perlu penyesuaian untuk menghadapi perkembangan teknologi digital yang melaju pesat. Indonesia perlu segera menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi teknologi digital tanpa mengorbankan perlindungan hak-hak kreatif dari karya intelektual anak negeri. (maspril aries)