Obsesi Anwar Putra Bayu, Lahirnya Sastra (Puisi) Ekologis di Sumsel
Sementara itu teori sastra ekologis yang saat ini dikenal muncul awal tahun 2000-an dan mulai dikenal di Indonesia setelahnya. Kajian-kajian dengan menggunakan teori ini juga sudah mulai dilakukan pada sekitar tahun 2008 ke atas dengan jumlah yang masih sangat terbatas. Kajian ekologi sastra berupaya menemukan hubungan antara sastra dan lingkungan hidup dan lingkungan fisik.
Dalam perkembangannnya, ada yang menyebut sastra ekologis adalah sastra hijau. Menurut penelitian Naning Pranoto, “Sastra Hijau: Pena yang Menyelamatkan Bumi” (2014), bahwa sastra hijau memiliki beberapa kriteria, yaitu bahasa yang digunakan banyak mengandung diksi ekologis, dan isi karya dilandasi oleh rasa cinta pada bumi. Sastra hijau harus mampu mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat terhadap pengrusakan alam. Hal ini sesuai dengan visi dan misi sastra hijau, yaitu sastra berperan dalam penyadaran dan pencerahan yang diharapkan dapat mengubah gaya hidup perusak menjadi pemelihara bumi (go green).
Berikut adalah sastrawan atau penyair yang karyanya berperan dalam mengembangkan sastra ekologis. Di Indonesia, beberapa di antaranya, WS Rendra, Sutardji Calzoum Bachri dan Andrea Hirata. Ini salah satu penggalan puisi WS Rendra berjudul “Sajak Bumi”:
“Lalu beribu hektar hutan,
Jadi sapi-sapi Australia.
Rakyat kehilangan tanah,
Kehilangan hasil, kehilangan tradisi”.
Puisi ini adalah kritik Rendra terhadap eksploitasi alam dan industrialisasi yang merusak ekosistem. Puisi yang menggambarkan suara alam yang terluka akibat kerakusan manusia dan seruan untuk menghentikan perusakan lingkungan demi kepentingan kapitalisme.
Sutardji Calzoum Bachri dikenal dengan puisinya bertema alam dan ekologi. Dalam dunia sastra Indonesia penyair berasal dari Kepulauan Riau tersebut sering dianggap sebagai salah satu penyair yang mengangkat tema harmoni antara manusia dan lingkungan. Puisi-puisinya, meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai sastra ekologis, mencerminkan kedekatan spiritual dengan alam.
Kemudian Andrea Hirata dengan karyanya novel “Laskar Pelangi” menyoroti isu lingkungan atau ekologi di Pulau Belitung yang rusak akibat penambangan timah. Walau tidak terfokus pada tema lingkungan, karyanya membawa perhatian pada dampak aktivitas manusia terhadap ekosistem lokal.