Dari New York Lahir Karya AD Pirous Lukisan Kaligrafi Surat Al Ikhlas
Menurut Teten Rohandi, gaya abstrak geometrik beserta teori-teori seni rupa modern dunia yang ia dapatkan dari Mulder tersebut, meskipun sempat membuat ia kebingungan dan patah semangat, telah memberikan pijakan bagi eksplorasi media dan gaya visual yang memunculkan gaya yang cenderung eksperimental. Sampai perkembangan selanjutnya ia dapat mencerap dan mengembangkan gaya visualnya sendiri. Terutama pengalaman ketika studi di Amerika yang membuat ia gelisah dan mencari identitas seni rupa modern Indonesia, sampai pada proses kesadaran akan budaya kampung halamannya sendiri yaitu Meulaboh Aceh yang sarat dengan nuansa religius Islami.
Kisah ini bisa dibaca dalam buku berjudul “Pirous Vision, Faith and a Journey in Indonesian Art, 1995-2002” yang ditulis Kenneth M. George dan Maman Noor (2002) menulis, “Setiap kali pergi ke New York City untuk mengunjungi museum, dia selalu meminta kepada pihak sponsor untuk menunjukkan tempat dimana dia dapat melihat seni Asia kontemporer, khususnya seni kontemporer Indonesia.”
Seperti yang dikatakan oleh Pirous, dia selalu mendapatkan jawaban yang sama: “Tidak, Belum ada kategori untuk itu (seni Asia kontenporer). Jika yang Anda maksudkan adalah seni rakyat, seni tradisional, seni primitif, seni etnis, ada. Tapi jika yang Anda maksudkan adalah seni modern, seni kontemporer, tidak ada”. Indonesia dan, tentu saja, kebanyakan negara di Asia belum diakui oleh para kurator dan kritikus seni sebagai negeri yang mampu memproduksi seni modern.
Dalam buku itu juga, ketika berada di New York, dan kebetulan AD Pirous melihat dan menemukan warisan Islam, saya berkata, “Wah ini dia” Tiba-tiba muncul lagi. “Ini, ini milik saya, ini harta saya.”
Keadaan ini menjadi titik balik dari perjalanan karya AD Pirous, yang memutuskan untuk membuat karya yang berangkat dari spirit Alquran, yakni sketsa kaligrafi Surat Al Ikhlas pada tahun 1970 yang dibuat di New York.
Penelitian dari Agus Cahyana, Reiza D. Dienaputra, Setiawan Sabana, Awaludin Nugraha berjudul “Seni Lukis Modern Bernafaskan Islam di Bandung 1970-2000-an” (2020), menyimpulkan perjalanan AD Pirous dalam berkarya, memulai dengan estetika modern yang cenderung bergaya abstrak dan kubistis sebagai landasan berkarya, seperti pada umumnya yang diajarkan di seni rupa ITB oleh para guru-guru Eropa pada tahun 1960- an.
Dengan melukis dengan cara Barat dan modernisme sebagai dasar pemikirannya menjadikan seorang seniman dapat diterima sebagai bagian dari seniman global yang bersifat universal, hal ini pula yang dialami oleh AD Pirous.
Pandangan tersebut berubah ketika ia mendapatkan kesempatan untuk belajar ke kota pusat seni modern dunia, yaitu New York, dimana justru ia dihadapkan pada realitas bahwa keberadaan seni modern yang bersifat universal itu tidak ada.
Seni Lukis Kaligrafi
Kapan seni lukis kaligrafi Islam dikenal di Indonesia atau di Nusantara? Menurut Ade Setiawan dalam “Kaligrafi Islam dalam Aktivitas Budaya”,
kaligrafi berasal dari kata Yunani: Kalligraphia yang artinya: ”tulisan yang indah”. Kaligrafi bermula dari Yunani yang berkembang pada awal abad III Masehi, ketika Appolonious dari Tyana terpesona oleh kemahiran pembantu dekatnya, yang mahir dalam merangkai tulisan indah.
Kaligrafi kerap disebut sebagai salah satu karya seni Islam. Kaligrafi adalah seni tulisan indah atau disebut khat. Indah dalam mengukir nama-nama Allah SWT sebagai bentuk dan rasa untuk semakin mengingat Tuhan-Nya.
Kaligrafi Islam tidak dapat dilepaskan dari semangat Islam. Sebagai sebuah ekpresi rasa artistik dan estetik dalam jiwa para seniman, maka kaligrafi Islam dilandasi oleh Alquran, yang memberikan arahan sangat jelas akan tulisan dan pena sebagai suatu hal yang harus dipelajari manusia, seperti dimanifestasikan dalam Alquran surat Al ’Alaq ayat 3-4: yang artinya: ”Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena,” dan surat Al Qalam ayat 1: “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis”.
Ade Setiawan menulis, untuk menelusuri penyebaran kaligrafi Islam ke Indonesia cukup sulit meskipun beberapa ahli telah mengemukakan asumsinya. Bahkan sejarawan Barat, seperti Moquette (1921) mengemukakan kemungkinan besar kaligrafi di Indonesia telah diimpor dari Cambai India. Kemudian Cowan (1940) menyatakan tulisan yang dipergunakan dalam kaligrafi Islam terawal di Indonesia umumnya menggunakan jenis tulisan Kufi.