Kiblat dan Kisah Film Horor Sejak Zaman Kolonial
KINGDOMSRIWIJAYA – “Dengan alasan menyasar kelas bawah di berbagai bioskop daerah, maka genre komedi, horor dan seks dipilih karena berbiaya murah dan dianggap mudah dicerna kelompok penonton tak terdidik”. Garin Nugroho menulis kalimat tersebut dalam buku berjudul “Krisis dan Paradoks Film Indonesia” yang ditulisnya bersama Dyna Herlina S yang terbit tahun 2015.
Setelah delapan tahun kemudian, atau sepekan menjelang Hari Film Nasional yang diperingati tanggal 30 Maret 2024 jagat perfilman nasional diwarnai kontroversi sebuah film horor berjudul “Kiblat”. Film yang direncanakan akan tayang pada tahun ini telah memicu protes setelah poster dan thriller film yang diproduksi rumah produksi Leo Pictures beredar.
Jagat maya dengan berbagai platform-nya riuh membahas film karya sutradara Robby Prasetyo tersebut. Rabu (27/3), Produser film Kiblat mendatangi kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan terima Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis dan Wasekjen MUI KH Arif Fahruddin.
Menurut Kiai Cholil, produser film Kiblat datang ingin menyelesaikan polemik di masyarakat dan memohon maaf atas terjadinya kegaduhan. “Alhamdulillah telah disepakati penyelesaian masalah dengan meminta maaf, mengubah judul film dan posternya. Mudah-mudahan bisa mengakhiri kontroversi dan kreasi anak bangsa tetap jalan pada koridornya”, katanya.
Kehadiran film genre horor sendiri di Indonesia sudah ada sejak lama. Mengutip Garin Nugroho dalam buku “Krisis dan Paradoks Film Indonesia” menulis, Karl G Heider dalam “Indonesia Cinema: National Culture on Screen” (1994) menyebut bahwa film horor adalah bentuk film yang paling sering muncul dalam perfilman Indonesia.