Berburu Migas di Laut Dalam dan Sejarah Migas
Dengan kehadiran perusahaan-perusahaan migas utama dunia tersebut di Indonesia memberi gambaran bahwa Indonesia masih memiliki potensi eksplorasi yang menjanjikan. Untuk mengembalikan industri migas kembali ke puncak seperti dulu dan menghasilkan produksi yang mampu mengurangi impor minyak serta dapat meningkatkan penerimaan negara, industri hulu migas memerlukan perbaikan di bidang fiskal dan regulasi perijinan sehingga meningkatkan kemudahan berinvestasi di Indonesia.
Menurut Benny Lubiantara Deputi Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas pada gelaran Indonesian Petroleum Association (IPA) Convention and Exhibition akhir Juli lalu, “Secara global, persaingan untuk memperoleh investasi akan terus meningkat, perlu dilakukan perbaikan fiskal yang radikal untuk tetap menarik di pasar global karena setiap negara akan terus memperkenalkan term & condition (T&C) fiskal yang lebih menarik.”
Benny Lubiantara juga menegaskan, “Potensi migas Indonesia terbesar berada di laut dalam.” Berdsarkan data SKK Migas pada semester-I 2023, sebanyak 11 sumur eksplorasi sudah ditajak, dari jumlah tersebut sebanyak enam sumur menghasilkan penemuan dengan total sumber daya sekitar 216 MMBOE.
Sumur yang menghasilkan penemuan tersebut, yakni sumur NSO XLLL-1, sumur Re-Entry Rimbo-1, sumur SEM-1X, sumur Helios D-1X, sumur Adiwarna-1X, dan sumur Re-Entry Lofin-2.
SKK Migas menargetkan pengeboran sumur eksplorasi pada 2023 sebanyak 57 sumur atau meningkat 71 persen dibandingkan realisasi pengeboran sumur eksplorasi pada 2022 yang berjumlah 42 sumur.
Penemuan Migas
Menurut Cut Asmaul Husna TR dalam “Strategi Penguatan Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Laut” (2018) dengan mengutip Alquran Surah Al-Jasiyah, 45:12-13, Juz 25, yang maknanya: “Allah-lah yang menundukkan laut untukmu agar kapal-kapal dapat berlayar di atasnya dengan perintah-Nya, dan agar kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.”
Berdasarkan ayat ini manusia dituntun untuk berpikir agar mampu mengeksplorasi berbagai khazanah kekayaan sumber daya alam yang terpendam baik di udara, darat maupun di laut.”
Kekayaan sumber daya alam tersebut salah satunya adalah minyak bumi dan gas atau migas. Migas bagi umat manusia menjadi sumber energi primer di seluruh dunia dibandingkan dengan sumber energi lainnya seperti panas bumi, nuklir, hidroulik, energi surya, dan energi angin (energi non fosil).
Mengutip Cut Asmaul Husna, minyak bumi diperkirakan pertama kali ditemukan di Timur Tengah (Parsi/ Iran) sebagai rembesan yang muncul ke permukaan. Pada masa Nabi Nuh AS (3993-3043 SM) menggunakan minyak bumi yang merembes di permukaan untuk menambal perahunya agar tidak kemasukan air.
Dalam Ensiklopedia Britannica menarasikan migas pertama kali ditemukan pada 5000 tahun SM oleh bangsa Asyiria, Sumeria, dan Babylonia. Di tepi Sungai Euphrat migas digunakan sebagai peluru api dalam peperangan dan sebagai penambal anti air di kapal, tempat-tempat penampungan serta bangunan.
Seiring perkembangan zaman bangsa Persia dan Arab berhasil menemukan teknologi distilasi migas. Distilasi ini menghasilkan migas yang mudah terbakar. Semenjak itulah minyak digunakan sebagai bahan bakar.
Dalam “Esensi Pendirian Perusahaan Migas Negara: Redefinisi Peran dan Posisi Pertamina,” yang ditulis Tim ReforMiner Institute (2011) menuliskan, migas sebagai bahan bakar juga muncul pada zaman Harun Al Rasyid dengan nama “Naphta.” Naphta ditemukan di berbagai belahan dunia mulai dari Hit di Mesopotamia, Bavaria, Sisilia, Alsace dan Galcia di Eropa, Indonesia hingga Pennsylvania di Amerika Serikat.
Menurut Tim ReforMiner Institute, selama ribuan tahun kegiatan ekstraksi migas bersifat pasif, hanya sebatas mengambil rembesan Migas yang muncul di permukaan tanah. Baru pertengahan abad ke-19 di Galicia, Rumania dan beberapa daerah di Eropa Timur lainnya para petani mulai menggali sumur untuk mendapatkan Migas yang kemudian disuling menjadi minyak tanah (kerosin) untuk bahan bakar lampu.