Reformasi dan Harmoko 25 Tahun Lalu (Bagian 1)
Soeharto TOP
Menanggapi usulan tersebut, Soeharto meminta Ketua Umum Goplkar Harmoko meneliti kembali usulan tersebut, apakah pancalonan Soeharto didukung dan diminta oleh rakyat secara keseluruhan. Padahal sebelumnya, Soeharto pernah menyampaikan agar dirinya tidak dipilih kembali pada pemilihan presiden berikutnya mengingat dirinya sudah TOP (Tua, Ompong dan Peot).
Harmoko tetap saja mencalonkan Soeharto sebagai Presiden dari Golkar. Pada sidang umum MPR 1998 Soeharto pun terpilih kembali sebagai Presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun berikutnya 1998 – 2003.
Namun pada waktu bersaman dunia dan Indonesia terkena terpaan krisis ekonomi. Menurut Harold Crouch dalam “Political Reform In Indonesia After Soeharto,” (2010), jatuhnya pemerintahan otoritarian Soeharto yang didukung militer bukanlah akibat langsung dari perubahan sosial-politik domestik yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih disebabkan oleh interupsi mendadak yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal.
Crouch menulis, krisis keuangan Asia yang dimulai dari Thailand pada Juli 1997, menyebabkan terhentinya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Padahal pada pertengahan 1990-an, Indonesia digambarkan sebagai salah satu “cerita sukses” negara-negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen per tahun dengan pendapatan perkapita US$1.000. Indonesia sebagai negara yang termasuk dalam kategori “mendekati-NIC/New Industrializing Country.”
Namun saat krisis datang melanda, kondisi Indonesia tidak seperti negara-negara di kawasan Asia lainnya, rezim Soeharto yang terikat oleh jaringan-jaringan patronase yang kuat, tidak mampu mengatasi krisis, atau paling tidak, mencegah berbagai konsekuensinya.
Akibatnya, tulis ilmuwan dari Australia tersebut, Indonesia dilanda keterpurukan ekonomi yang diikuti kaburnya investor dan meningkatnya pengangguran dan diperburuk oleh kekeringan di bidang pertanian yang diakibatkan oleh El Nino. Pengemis memenuhi jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota, tingkat kriminalitas meningkat, penjarahan di mana-mana, dan kerusuhan anti-Cina menjalar dari Jakarta ke pulau-pulau lain.
Akhirnya, demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran yang dipicu oleh kerusuhan anti-Cina selama dua hari di Jakarta pada bulan Mei 1998, telah memaksa Presiden Soeharto mundur dan sekaligus menandai akhir dari rezim Orde Baru.
Jatuhnya Soeharto dari kursi Presiden Indonesia 25 tahun lalu dipicu oleh berbagai faktor, faktor situasi kondisi sosial dan politik dalam negeri salah satunya desakan dari pimpinan MPR/DPR yang disampaikan langsung oleh Harmoko pada 18 Mei 1998, dan faktor politik internasional khususnya situasi ekonomi dunia atau Asia pada masa itu.
Gina Siti Rahmah, Suwirta, dan Moch Eryk Kamsori dalam penelitiannya, “Kiprah Politik Harmoko Pada Masa Orde Baru Melalui Analisis Biografi (1983-1999),” (2016) menyebutkan, ketika reformasi menginginkan rezim Orde Baru dijatuhkan, Harmoko memberi keputusan untuk menghianati Soeharto dengan menyuruhnya turun dari jabatannya. Jika diperhatikan terlihat sekali bahwa Harmoko memiliki kepribadian loyalist yang memiliki kepatuhan tinggi, bertanggung jawab, pengabdian dan jujur kepada Soeharto sebagai petingginya
Walaupun demikian perlu diingat bahwa pribadi loyalist memiliki orientasi pada keamanan diri. Pribadi loyalis bisa berubah menjadi pemberontak karena yang mereka utamakan adalah keamanan diri. Oleh karena itu Harmoko dalam perkembangannya memberontak atau mengkhianati Soeharto dengan melengserkannya karena tuntutan rakyat yang dianggap mengancamnya.
Keputusan Harmoko pada 18 Mei 1998 tersebut menuai pro dan kontra di satu sisi Harmoko merupakan orang kepercayaan Presiden dan orang yang diangkat dalam segala posisi oleh Presiden Soeharto, di satu sisi lainnya Harmoko memegang kekuasaan sebagai ketua MPR/DPR yang harus menyalurkan aspirasi rakyat.
Akhirnya reformasi di Indonesia pun bergulir dan pada 2023 usianya sudah 25 tahun. (maspril aries)