Home > Politik

Reformasi dan Harmoko 25 Tahun Lalu (Bagian 1)

Sebelum masuk dunia politik Harmoko adalah seorang wartawan yang menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
Harmoko. (FOTO : Reuter)

KAKI BUKIT Seorang wartawati senior Eva Mazrieva yang kini menetap di Washington DC pada laman Facebook (FB)-nya menulis:

“Senin, 18 Mei 1989.

Pimpinan DPR (Ketua Harmoko, Waka Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur & Fatimah Achmad) meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri. Konferensi pers Senin sore itu hanya berselang beberapa hari setelah penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei, disusul kerusuhan rasial 13 – 15.”

Eva Mazrieva yang kini bergabung di VOA Indonesia menulis, “Menanggapi situasi saat ini pimpinan Dewan berharap demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan dirinya, ujarnya dengan suara bergetar. Ruangan seperti mau pecah dengan gema tepuk tangan dan teriakan banyak orang.

Sontak pernyataan itu menjadi “breaking news” di seluruh penjuru dunia karena disampaikan pimpinan dewan pada orang kuat yang dua bulan lalu baru saja terpilih untuk ketujuh kalinya sebagai presiden.”

Menurut Eva, apakah Harmoko dianggap sebagai “pahlawan?” Jangan salah dalam hitungan menit, pernyataan Harmoko itu disanggah banyak kalangan. Dari Panglima ABRI, Kapolri, Pangkostrad, Komandan Kopassus dan Sekjen DPP Golkar.

Apa yang disampaikan Harmoko dalam kapasitas sebagai Ketua MPR/ DPR tentu menjadi gunjingan dan pertanyaan banyak pihak pada 25 tahun lalu, mengingat latar belakang Harmoko adalah seorang loyalis Presiden Soeharto. Harmoko yang loyal kepada Presiden Seoharto tiba-tiba berbalik mengkhianatinya dengan meminta mundur sebagai Presiden Republik Indonesia.

Sebelum masuk dunia politik Harmoko adalah seorang wartawan yang menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Dalam karirnya sebagai wartawan, Harmoko juga mendirikan surat kabar harian bernama Pos Kota.

Perubahan nasib dan garis tangan membawa Harmoko menjadi bagian dari penguasa Orde Baru (Orba). Pada tanggal 13 Maret 1983 Presiden Soeharto memanggil Harmoko ke kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Kepada Harmoko Presiden Soeharto meminta kesediaan dan kesanggupan Harmoko untuk memimpin Departemen Penerangan menjadi Menteri Penerangan. Presiden Soeharto juga memberikan pengarahan kepada Harmoko tentang fungsi dan peranan Departemen Penerangan yang akan dipimpinnya. Harmoko kemudian menjadi Menteri Penerangan selama era tiga kabinet berturut-turut periode 1983 – 1997, pada masa Kabinet Pembangunan IV, Kabinet Pembangunan V dan Kabinet Pembangunan VI.

Sebagai Menteri Penerangan Harmoko mendukung gagasan “Pers Pancasila” yang ditetapkan Dewan Pers. Pers Pancasila adalah pers yang bebas dan bertanggung jawab. Menurut Harmoko, bahwa walaupun pers itu bebas, namun tetap harus bertanggung jawab; dan pers harus dikontrol untuk mendukung pembangunan dan stabilitas negara.

Dalam perjalanan politiknya, kedekatan Harmoko dengan Soeharto membawanya menjadi Ketua Umum Golongan Karya (Golkar) 1993 – 1998. Dalam Munas V Golongan Karya, Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar terang-terangan memilih Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar menggantikan Wahono.

Kemudian pada Pemilu 1997 Golkar dibawah kepemimpinan Harmoko menang besar dengan meraih Harmoko 74.3 persen suara, jauh mengungguli Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang meraih 22,7 persen dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) meraih 3,0 persen suara. Harmoko pun menjadi Ketua DPR dan MPR.

Saat menjabat Ketua Umum Golkar, Harmoko menjelang pemilihan Presiden oleh MPR tahun 1998 punya wewenang untuk menentukan siapa calon Presiden dari Golkar selanjutnya. Harmoko lalu mencalonkan kembali Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan yang ketujuh.

× Image