Buku Pertama tentang Sejarah Parlemen di Sumsel
Setelah Proklamasi Kemerdekan RI 17 Agustus 1945 pada 24 Agustus 1945 tiba tiga orang utusan pemerintah pusat ke Palembang dan menunjuk AK Gani sebagai kepala pemerintahan Keresidenan Palembang (Sumatera Selatan) untuk membentuk pemerintahan sipil, KNID dan menyusun kekuatan militer.
Lalu pada 3 September 1945 AK Gani membentuk KNID Sumsel sebagai badan perwakilan daerah sementara. Anggota KNID berjumlah 45 orang yang diambil dari Shu Sangi-kai dan Palembang Hokokai.
Selanjutnya buku ini menguraikan tentang sejarah parlemen atau DPRD Sumsel sejak periode 1948 – 195 termasuk DPRD hasil Pemilihan Umum (Pemilu) pertama setelah Indonesia merdeka tahun 1955. Pada Pemilu 1955 diikuti 25 partai politik dan juga anggota calon perorangan yang jumlah cukup banyak.
Pemilu pertama ini dimenangkan oleh lima partai yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyum), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Di Sumatera Selatan, Masyumi meraih jumlah kursi parlemen terbanyak dengan 17 kursi DPRD sampai dibubarkan tahun 1960 oleh Presiden Soekarno. Kemudian diikuti PNI, PSII dan NU. Sampai era terbentuknya DPRD Gotong Royong, Partai Masyumi adalah partai yang memiliki anggota parlemen terbanyak dibanding partai pesaingnya.
Memang pada buku ini tidak diulas tentang bagaimana kemenangan Partai Masyumi pada masa itu di Sumsel. Ini adalah ceruk menarik bagi para peneliti atau akademisi untuk meneliti tentang kemenangan partai Islam tersebut di Sumsel. Pasca Masyumi dibubarkan, Sumsel tidak lagi menjadi basis suara kemenangan partai-partai Islam yang muncul berikutnya pada Pemilu 1971 sampai pada Pemilu era reformasi.
Pada Pemilu 1971 atau pemilu pertama masa Orde Baru yang diikuti 10 peserta pemilu yang terdiri dari sembilan partai politik (parpol) dan satu Golongan Karya (Golkar) tersebut, peraih kursi terbanyak di DPRD Sumsel adalah Golkar dengan 20 kursi. Partai Islam yang tersisa, Partai NU hanya mendapat empat kursi sama dengan jumlah Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yang juga mendapat empat kursi dan PSII mendapat dua kursi.
Selanjutnya DPRD Sumsel berjalan dengan beragam dinamika sampai kemudian tumbangnya Orde Baru berganti dengan masa Orde Reformasi. Tiap dinamika apa yang terjadi pada masing-masing masa jabatan anggota DPRD, buku ini mencatatnya dengan hasil-hasil dicapai DPRD Sumsel pada masing-masing periode. Sejarah yang tulis lumayan lengkap untuk melihat potret parlemen Sumsel sampai DPRD periode 2019 – 2024.
Seperti disampaikan dua penulisnya pada “Pengantar Penulis,” melalui buku ini, kita mampu memetik berbagai pelajaran berharga guna meningkatkan ikhtiar kita dalam menjalankan roda pemerintahan di Provinsi Sumatera Selatan, terutama dalam kaitan fungsi utama DPRD, yaitu fungsi pengaturan, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan.
Ada catatan yang harus dicetak tebal setiap kosakata dari buku ini. Buku “Sejarah DPRD Sumatera Selatan – Tiga Masa Menjaga Pembangunan di Bumi Sriwijaya” lahir pada masa kepemimpinan DPRD Sumsel dipimpin oleh seorang perempuan, RA Anita Noeringhati dari Partai Golkar. Buku ini adalah buah sejarah, sama seperti sejarah DPRD Sumsel sejak zaman kolonial sampai milenial untuk pertama kalinya jabatan Ketua DPRD dijabat seorang perempuan.
Buku ini sendiri dilihat secara geografis adalah bagian dari sejarah lokal. Menurut, Dudy dan Dedi, secara teori ada empat macam sejarah lokal. Pertama, sejarah sebagai peristiwa (evenmental history). Kedua, penelitian struktural yang lebih menekankan struktur dari pada proses. Ketiga, membahas aspek-aspek tertentu mengenai sejarah lokal (studi tematis). Keempat, pembahasan sejarah lokal umum tentang daerah tertentu (provinsi, kota dan kabupaten) dari masa kuno sampai masa kini.
Dalam prolog, kedua penulis menyatakan, “Berdasarkan keempat teoritis ini buku Sejarah DPRD Sumatera Selatan: Tiga Masa Menjaga Pembangunan di Bumi Sriwijaya termasuk seajrah lokal yang bersifat administratif, tidak ada hubungan peristiwa dari konteks etnis kultural.”
Penulisan sejarah di Indonesia dikenal tiga jenis atau genre. Pertama adalah sejarah ideologi, suatu istilah yang dipergunakan karena tidak ada yang lebih baik dari itu. Kedua, suatu jenis penulisan sejarah yang untuk mudahnya dinamakan sejarah pewarisan. Ketiga, karena tidak ada istitlah yang tepat, suatu jenis yang dinamakan sejarah akademik. (maspril aries)