Home > Literasi

Pilih Mana, Jurnalis atau Kreator Konten?

Jadi kreator konten itu lebih mudah mendapatkan uang dan bisa jumlahnya lebih besar dari pada penghasilan wartawan.

Namun MT Senft dalam “Cangirls: Celebrity dan community in the age of social networks New York,” (2008) menyebutkan, “Untuk menjadi seorang kreator konten itu tidak mudah, ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu : harus memilih konten yang sesuai dengan passion, yang menghasilkan sebuah karya yang bisa menginspirasi banyak orang.

Kemudian, kreator konten memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, seorang kreator konten dituntut untuk memiliki karya yang original. Seorang kreator konten dituntut untuk selalu update dengan perkembangan tren terkini. Seorang kreator konten dituntut multi-tasking. Mulai dari hard skill dan juga soft skill, seperti belajar menulis wording yang readable, belajar edit video yang menarik, belajar memotret, mengatur feed Instagram, dan masih banyak yang lainnya. Kreator kontenselalu konsisten dalam berkarya.

Namun dalam prakteknya, demi meraup cuan membuatkan konten hanya berorientasi dan mendewakan satu target yaitu “viral.” Dalam KBBI kata “viral” diartikan sesuatu yang bersifat menyebar luas dan cepat seperti virus.

Contohnya, masih ingat dengan konten live di Tiktok tentang seorang nenek yang melakukan aksi mandi lumpur hingga menggigil kedinginan. Konten ini dibuat semata untuk mendapat “gift” dari penonton yang bisa ditukar dengan uang. Namun banyak yang mengecam konten ini dan menyebut kegiatan itu sebagai mengemis online.

Sebelum konten nenek mandi lumpur muncul, tahun 2021 pakar kajian studi media Universitas Airlangga (Unair) Rachmah Ida mengkritisi banyaknya kreator konten yang kerap mengekploitasi kemiskinan seseorang. Konten tersebut biasanya sukses menggaet penonton dan simpati publik serta sering menjadi trending hingga memancing kreator lain untuk membuat yang serupa.

“Jika diproduksi secara terus menerus, konten seperti itu dapat membuat jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Sebab, terjadi alienasi terhadap orang di bawah garis kemiskinan. Kreator konten harus kreatif, tidak mengeksploitasi kemiskinan orang lain,” kata Rachmah Ida guru besar studi media pada Fisip Unair.

Menurut Ida, ketika orang miskin dikomodifikasi, itu tandanya kreator sudah tidak kreatif. “Konten tersebut adalah bentuk dari poverty porn karena fokusnya adalah menunjukan penderitaan kemiskinan. Poverty porn, bisa disebut melanggar etika. Dalam kajian media, itu dapat dikategorikan dalam konteks eksploitasi,” ujarnya.

Kepada kreator konten atau wartawan dan jurnalis yang sekarang tengah bermigrasi menjadi kreator konten berpesan, “Konten yang kreatif seharusnya menciptakan pemberdayaan. Konten sebaiknya dapat menunjukan dampaknya dalam keberlangsungan hidup. Harus memiliki sense of crisis, juga bisa mempunyai tidak hanya simpati namun juga empati. Bagi penikmat media, konten ini juga seharusnya tidak dijadikan orientasi, namun sebagai pembelajaran.”

Namun tetap saja antara wartawan atau jurnalis dengan kreator konten adalah adalah dua profesi berbeda. Karena berbeda, idealnya jurnalis tidak merangkap sebagai kreator konten, apalagi mencampuradukan keduanya.

Mengutip wartawan senior Eddy Koko dalam “Kreator Konten, Etika Jurnalistik dan UU Pers” (9 Februari 2022), “Banyak kreator konten mengejar kecepatan dan clickbait sehingga sering mengorbankan akurasi dan kualitas demi meraih peghasilan iklan daring. Semakin konten yang dipublikasikan mendapat banyak klik dari pembaca atau penonton maka pemasukan uang juga semakin besar.”

Menurut wartawan senior yang menjadi wartawan cetak dan pernah menjadi Pemimpin Redaksi Radio Trijaya, “Sebagai gambaran, jika wartawan mendapat gaji tetap Rp10 juta dalam sebulan dari perusahaan medianya sedangkan kreator konten bisa mendapatkan Rp40 juta lebih dari hasil clickbait. Namun bisa juga kreator konten hanya mendapat Rp1.000 jika konten buatannya sedikit yang mengklik.”

“Meskipun karya kreator konten dan wartawan sama-sama dipublikasikan di media namun tidak otomatis disebut sebagai produk pers. Sebuah berita dikatakan sebagai produk pers jika diterbitkan oleh media massa berbadan hukum. Ketika berita menimbulkan sengketa pemberitaan akan diselesaikan menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 Pers melalui Dewan Pers,” tulis Eddy Koko.

Untuk karya konten kreator yang diunggah ke media sosial (medsos) karena tidak ada aturan khusus, jika isinya menimbulkan sengketa penyelesaiannya menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bisa juga terjerat oleh UU Hak Cipta jika konten tersebut mencomot atau plagiat karya orang lain. (maspril aries)

× Image