Aneka Rupa Kejahatan Migas di Sumsel
UU Nomor 22 Tahun 2001 pada kebijakan formulasinya telah menetapkan perluasan subjek tindak pidana yang bukan hanya manusia (natuurlijk persoon) tetapi juga termasuk badan hukum (rechts persoon). Perluasan subjek tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Migas dapat dibenarkan atas dasar ketentuan Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam Pasal 56 menyebutkan: 1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tuntutan dan pidana dikenakan terhadap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dan/atau pengurusnya. 2. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, pidana yang dijatuhkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut adalah pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.
Untuk BBM bersubsidi selain diatur dalam UU No.22 Tahun 2001 juga diatur Perpres No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Sebelumnya diterapkan Perpres No. 15 Tahun 2012 tentang harga jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
Pengaturan hukum lainnya terkait BBM diantaranya Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Minyak (BPH Migas); PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Minyak; PP Nomor 34 Tahun 2005 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, sebagai perubahan terhadap PP Nomor 35 Tahun 2004 dan PP Nomor 1 Tahun 2006 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha
Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa.
Tentang penyalahgunaan BBM atau BBM bersubsidi seperti yang menjadi perhatian BPH Migas dan Polri, dalam penjelasan Pasal 55 menyebutkan bahwa : “.... yang dimaksudkan dengan menyalahgunakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan perseorangan atau badan usaha dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara seperti antara lain kegiatan pengoplosan Bahan Bakar Minyak, penyimpangan alokasi Bahan Bakar Minyak, pengangkutan dan penjualan Bahan Bakar Minyak ke luar negeri”.
Dari berbagai kejahatan atau tindak pidana penyalahgunaan BBM Bersubsidi meliputi perbuatan antara lain : 1. Pengoplosan : yaitu mencampur BBM dengan air, atau berbagai jenis BBM lain sehingga kualitasnya menurun, atau dengan minyak oli bekas dan lain sebagainya sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar.
2. Penyimpangan alokasi Bahan Bakar Minyak : yaitu perbuatan mengalihkan peruntukan BBM Bersubsidi yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat umum tetapi dijual kepada industri, karena selisih harga yang cukup besar. 3. Pengangkutan dan penjualan BBM Bersubsidi ke luar negeri karena adanya selisih harga cukup besar.
Semua bentuk penyalahgunaan BBM seperti diatur dalam Pasal 55 tersebut pernah ada dan terjadi di Sumsel dan perbuatan tindak pidana selalu berulang. Termasuk penjualan BBM ke luar negeri pernah terjadi di Sumsel. Pada tahun 2013 ada upaya penyelundupan minyak yang dikemas dan dimasukan ke dalam kontainer melalui Pelabuhan Peti Kemas Boom Baru Palembang yang akan dikirim ke Korea Selatan dan Cina.
Kemudian pada tahun 2015 tertangkapnya kapal MT Ruby Star berbendera Mongolia oleh Bea Cukai Kepulauan Riau (Kepri). Kapal tersebut tengah berlayar dengan membawa sebanyak 1.307.511 kiloliter minyak mentah hasil curian. Kapal itu ditangkap di perairan internasional dekat dengan Singapura. Nakhoda kapal tidak dapat menunjukan dokumen yang sah dari petugas kepabeanan. Sebelum tertangkap kapal MT Ruby Star berlayar dari Tanjung Api-api Sumsel dengan membawa minyak mentah yang dibawanya berasal dari minyak hasil illegal drilling sumur minyak tua dan illegal tapping di Sumsel.
Jadi perbuatan-perbuatan di atas jelas bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau badan usaha (korporasi), dengan mencari margin keuntungan dari selisih harga BBM subsidi dengan harga BBM industri atau harga BBM di luar negeri tanpa memperhatikan kerugian yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Baik yang diderita oleh warga masyarakat berupa kerusakan kendaraan maupun Pemerintah (Negara) karena maksud diberikannya subsidi tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, penyalahgunaan BBM bersubsisi i ini digolongkan dalam “Kejahatan” sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 57 ayat (2) sebagai berikut : “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 adalah kejahatan”.
Dari berulangnya berbagai kasus penyalahgunaan BBM bersubsidi yang merugikan negara tersebut, dapatkah dikatakan bahwa penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan BBM Bersubsidi belum efektif? Atau ada celah kelemahan dalam UU No.22 Tahun 2001? Dalam penegakan hukum pada kejahatan ini polisi juga menjerat para pelaku dengan menggunakan KUHP dan juga UU terbaru UU Cipta Kerja.
Selain itu, menurut penelitian Riyandani Rahmadiah Lioty dari Universitas Diponegoro (Undip) berjudul, “Penanganan Illegal Tapping, Illegal Drilling dan Penyelewengan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi di Indonesia Tahun 2011-2015,” (2017), “Penyebab pencurian minyak semakin berkembang adalah permintaan dari pasar ilegal. Adanya keuntungan yang ditawarkan dari pasar ilegal membuat sindikat kejahatan terus mencari cara agar bisnis ilegal ini terus berlangsung. Masyarakat sekitar akhirnya terpengaruh sehingga moral mereka menjadi buruk dan oknum pemerintahan justru melindungi sindikat kejahatan karena diuntungkan.”
Merujuk pada hasil penelitian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana penyalahgunaan BBM bersubsidi salah satunya adalah faktor ekonomi yang mendorong para pelaku berbuat demi mendapatkan keuntungan yang besar. (maspril aries)