Suporter Sepak Bola dan Hooliganisme
Periode tersebut sering disebut dengan “The English Disease.” Peristiwa “The English Disease” terjadi pada tahun 1983, ketika 150 orang suporter klub Tottenham Hotspurs ditangkap kepolisian Luxembourg setelah terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di Rotterdam. Dalam pertandingan tersebut, para HooliganSpurs mengamuk dan menusuk beberapa suporter Feyenord Rotterdam. Peristiwa tersebut adalah salah satu dari berbagai kasus berdarah yang diakibatkan oleh tindakan anarkis para hooligan Inggris.
Menurut G Carnibella dkk dalam “Football Violence in Europe” (1996), akibat berbagai aksi para hooligan, Inggris dianggap sebagai negara yang menjadi sumber masalah utama hooliganisme di dunia, khususnya di Eropa pada saat itu. Akibat dari tindakan para hooligan Inggris tersebut, klub-klub asal Inggris sering mendapatkan larangan untuk bertanding pada level Eropa dan dunia.
Tingkah laku dari hooligan yang brutal ketika menyaksikan klub kesayangan mereka kalah telah menjadi gejala sosial dan bahkan di negara-negara Eropa masalah hooliganisme ini sudah masuk ke dalam studi pendidikan. Pada awalnya kata hooligan ini diberikan oleh media-media Inggris untuk para suporter sepak bola yang melakukan huru-hara. Dan kata hooligan ini diberikan oleh media Inggris ketika 1950-an sepak bola Inggris mengalami kemajuan liga domestik.
Di negara Kroasia kekacauan hooliganisme lahir dari kebencian antar etnis dan politik yang menghidupkan kembali perpecahan dari Yugoslavia. Dan hal serupa juga terjadi di Prancis, yang dimana hooliganisme sering kali terjadi dari masalah sosial, termasuk ketegangan rasial. Di Denmark hooligan muncul sejak 90-an yang memicu ketegangan sosial.
Budaya hooliganisme juga merambah Amerika khususnya di negara-negara kawasan Amerika latin, seperti Argentina dan Brazil, juga ada di Mexico. Di Argentina suporter berada dalam kelompok-kelompok terorganisir (Barras bravas) yang muncul pada 1950-an. Setiap klub sepak bola besar dan kecil di Argentina memiliki barra brava dan semua tindakannya identik dengan kekerasan.
Demikian pula di Brasil para suporter hooligan bergabung dalam kelompok-kelompok terorganisir sering dianggap organisasi kriminal dan mereka banyak berbeda dengan hooligan Eropa. Mereka menjadi pendukung utama klub masing-masing, kelompok ini beranggotan sekitar 50 orang dan sering terlibat dalam kegiatan kriminal selain perkelahian seperti transaksi obat bius dan ancaman terhadap pemain. Para hooligan ini membangun alliansi antara satu dengan yang lainnya “organizadas torcidas.” Mereka juga sering menjadwalkan perkelahian melawan kelompok saingan sehingga sering jatuh korban tewas dan luka-luka. Verde Mancha (berarti ‘Stain Hijau’) adalah salah hooligan paling kejam di Brasil.
Hooliganisme adalah fenomena perilaku kekerasan di ranah sepak bola. Jika itu terjadi di Indonesia maka hooliganisme tidak dapat diartikan dengan satu tindak pidana saja karena dalam perilaku hooliganisme terdapat beberapa tindak pidana yang melanggar hukum.
Transformasi sepak bola yang akan dibangun FIFA di Indonesia khususnya terkait suporter, tentu bukan suporter yang berhaluan atau model hooliganisme yang ada benua Eropa atau Amerika. (maspril aries)