Tragedi dari Heysel, Hillsborough, Port Said sampai Kanjuruhan
Pada hari itu pertandingan mempertemukan klub tuan rumah Al-Masry menjamu tamunya Al-Ahly. Pada pertandingan tersebut tim tuan rumah menang dengan skor 3 – 1. Pertandingan pun berakhir wasit pun meniup peluitnya. Pada saat yang bersamaan ribuan supertor ultras Al-Masry menyerbu ke lapangan mereka memburu para suporter Al-Ahly, melemparnya dengan bat dan memukul dengan berbagai benda yang bisa digunakan, tiang gawang dirobohkan dan kursi tribun dibakar. Mereka melakukan barbarisme.
Dari kerusuhan tersebut 79 orang tewas sebagian besar suporter Al-Ahly. 1.000 orang lainnya menderita luka-luka. Polisi menangkap 47 orang suporter yang diduga sebagai dalang kerusuhan. 21 Orang diantara mereka yang ditangkap dijatuhi hukuman mati. Ada yang janggal dalam peristiwa ini, walau tuan rumah Al-Masry meraih kemenangan, justru pada pendukungnya yang beringas.
Dari berbagai liputan media massa internasional seperti Reuter dan The New York Times kemarahan pendukung Al-Masry dipicu oleh spanduk yang dibentangkan suporter ultras Al-Ahly yang menghina Port Said. Selain itu ada sentimen ideologi dan politik antara kedua klub tersebut.
Suporter ultras Al-Ahly dikenal sebagai suporter garis keras di Mesir, perilaku mereka sangat ekstrim dan kerap memancing keributan dengan suporter klub lain. Suporter Al-Ahly pada berbagai pertandingan selalu beringas dan kerap menyerang polisi. Al-Ahly sendiri adalah klub sepak bola tertua di Mesir berdiri tahun 1907.
Suporter ultras Al-Ahly juga disebut sebagai bagian dari “pasukan” penentang pemerintahan militer Mesir yang dituding terlibat dalam kerusuhan di Tahrir Square saat terjadi revolusi menumbang rezim Presiden Hosni Mubarak. Sebaliknya, suporter ultras Al-Masry adalah lawan politik yang menjadi pendukung Mubarak yang tumbang pada tahun 2011. Atas perseteruan dan tragedi di stadion Port Said, Perdana Menteri Mesir saat itu Kamal Al Ganzouri membubarkan EFA (Egyptian Football Association) atau asosiasi sepak bola Mesir.
Tragedi pada sepak bola di Mesir bukan hanya terjadi stadion Port Said. Di Kairo pada 9 Februari 2015 sebanyak 22 orang suporter tewas setelah bentrok dengan polisi Mesir di luar stadion. Bentrok terjadi pada pertandingan Liga Primer Mesir antara Zamalek dan ENPPI.
Bentrok yang menewaskan suporter Zamalek yang berjuluk “Kesatria Putih” setelah mereka berusaha memaksa masuk ke stadion meskipun tidak memiliki tiket sehingga terjadi kerusuhan. Polisi berusaha membubarka pada pendukung Zamalek dengan menggunakan gas air mata. Menurut para saksi mata, sebagian suporter tersebut tewas karena terinjak-injak saat polisi mengeluarkan gas air mata.
Dari berbagai kerusuhan suporter sepak bola tersebut, menurut Geetho TW dalam buku “Total Football For Life,” (2014), “Kerusuhan bisa terjadi dalam sepak bola atau pagelaran yang bersifat mengumpulkan massa. Berkumpulnya ratusan, ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu massa dalam satu stadion selalu berpotensi menciptakkan kerusuhan jika tidak ditangani secara strategis.” (maspril aries}