Ada 1.308 Perkara Pidana dan Perdata Dibawa Kementerian LHK ke PN
Di laman website gakkum.menlhk.go.id menyebutkan bahwa Ditjen Gakkum merupakan unsur pelaksana pada Kementerian LHK yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri LHK. Ditjen Gakkum menjadi salah satu unit tugas di Kementerian LHK yang dibentuk pada awal Juli 2015.
Menurut Roy, lima tahun sejak dibentuknya satuan unit kerja ini, sedikit banyak telah memberikan andil positif dalam menjaga kualitas lingkungan hidup dan keberlanjutan pengelolaan hutan menjadi lebih kuat. Ditjen Gakkum senantiasa mendukung melalui penegakan hukum secara tegas dan konsisten dalam ranah lingkungan hidup dan kehutanan demi tercapainya Indonesia yang maju, berdaulat, mandiri, dan berkepribadian gotong royong.
Dalam penegakan hukum lingkungan Kementerian LHK juga menggunakan multi-door approach yang sangat membantu untuk mencegah pelaku pelanggar hukum lolos dari jeratan hukum dengan mudah atau dapat memperoleh sanksi yang sesuai. Instrumen penegakan hukum meliputi sanksi administratif, penyelesaian sengketa dan penegakan hukum pidana.
Roy menjelaskan, periode 2015-2019 merupakan periode yang menunjukkan bangkitnya penegakan hukum lingkungan. Upaya-upaya penegakkan lingkungan yang dilakukan dirasakan telah membuahkan hasil dan akan terus disempurnakan. Langkah integratif antara unsur-unsur penegakkan hukum berlangsung secara baik, bersama-sama POLRI, Kejaksaan, dan Gakkum LHK. Dukungan pemahaman yudikatif dirasakan juga cukup baik dan sangat membantu.
Dalam penegakan hukum lingkungan oleh Kementerian LHK pada masa kepemimpinan Menteri Siti Nurbaya patut mendapat apresiasi. Ditjen Gakkum telah menunjukan keberdayaan institusi ini sebagai bagian dari penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Ke depan para penegak hukum khususnya terkait dengan tindak pidana lingkungan harus terpatri dalam benaknya bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial, baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum.
Mengutip Absori dalam “Penegakan Hukum Lingkungan Pada Era Reformasi,” (2005) menyebutkan, bahwa kerusakan lingkungan sering kali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikuantifikasi. Untuk generic crime yang relatif berat, sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam hal ini akibatnya merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan.
Untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crimes) yang melekat pada hukum administratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan.
Absori melayangkan kritiknya, bahwa penegakan hukum lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti pengadilan dan pemerintah selama ini belum bergeser dari pendekaatan positivis formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon dan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukan sikap yang formalis, deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku usaha (investor).
Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem lingkungan, sementara pencemaran lingkungan dalam proses waktu semakin sulit untuk dapat dikendalikan.
Dalam penegakan hukum oleh Kementerian LHK, kini terlihat bahwa tidak lagi menyasar pelaku 'kelas teri', namun juga kalangan korporasi yang dinilai lalai menjaga lahan konsesi. Juga dilakukan ketegasan pada pelanggar kasus lingkungan lainnya. (maspril aries)