Home > Budaya

Musim yang Tak Kunjung Rontok (Bagian 2)

Mereka akhirnya mengerti. Support system yang sesungguhnya bukanlah tentang uang, rumah tua, atau senior house. Itu adalah tentang jaringan kasih sayang, tentang hubungan yang terus dipupuk.

Fiksi AI

Ari, sesuai rencananya, pindah ke sebuah senior house premium. Semuanya profesional. Pelayanannya prima, fasilitasnya lengkap. Tapi, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh kenyamanan materi. Dia melihat anak-anaknya, yang memang sukses, hanya berkunjung sesekali, seperti turis yang mengunjungi sebuah monumen. Hubungan mereka menjadi transaksional. Warisan yang telah ia bagi dengan cermat seolah menjadi dinding kaca yang memisahkannya dari keluarga sendiri. Dia memiliki segala yang dibutuhkan tubuhnya, tetapi jiwanya kelaparan akan kehangatan yang tak bisa dibeli.

Dan Bima? Dia telah menemukan rumah kayu kecilnya di kaki gunung. Udara sejuk, seperti yang diimpikannya. Dia punya pembantu, seorang wanita setengah baya yang baik. Tapi, kemerdekaan itu memiliki harganya sendiri: kesepian. Saat hujan turun membasahi kebunnya, dan dia duduk sendirian di beranda, dia menyadari bahwa ‘mandiri’ bisa berarti ‘sendiri’. Rencananya yang matang ternyata melupakan satu hal: manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Dia merindukan obrolan santai di kafe dengan Rendra, Elisa, dan Ari. Dia merindukan ‘support system’ yang tidak hanya terdiri dari uang dan fasilitas, tetapi dari hubungan yang bermakna.

Suatu hari, Bima mendapat kabar bahwa Rendra sakit parah. Dia adalah yang pertama terbang kembali ke Jakarta. Ia menemukan Rendra di rumah sakit, lemah dan tak lagi menjadi sosok yang flamboyan.

Gue ingat omongan gue dulu, Bim,” bisik Rendra, matanya berkaca-kaca. “Tentang bundir. Tapi, tahu tidak? Saat itu benar-benar dekat, gue takut. Gue sadar, yang gue takuti bukanlah menjadi tidak produktif, tapi menjadi tidak berarti. Gue takut dilupakan, takut tak ada yang peduli.”

Bima memegang tangan sahabatnya itu. Ia memahami sekarang. Rencana ‘bundir’ Rendra bukanlah sebuah rencana, melainkan teriakan ketakutan akan ketidakberartian. Itu adalah metafora dari kekosongan yang ia rasakan, sebuah pengakuan bahwa ia tidak membangun pondasi makna di samping menara finansial.

Image
MASPRIL ARIES

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA

× Image