Kekuasaan Negara Atas Hak Atas Tanah Praktek Dekolonialisasi: Persepektif Hukum Agraria dan Hak Asasi Manusia

Oleh: Ricco Andreas (Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya)
Kemerdekaan yang Belum Tuntas di Atas Tanahnya Sendiri
Menjelang 80 tahun kemerdekaan, kita patut bertanya: sudahkah rakyat benar-benar merdeka di atas tanahnya sendiri, Tanah adalah sumber kehidupan, identitas, dan kedaulatan bangsa. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Hak Menguasai Negara (HMN) semestinya menjadi mandat publik, bukan kepemilikan mutlak. Namun, delapan dekade setelah proklamasi, mandat ini sering diselewengkan. Negara kerap memfasilitasi konsesi besar bagi korporasi, menggusur masyarakat adat, dan mengulang pola penguasaan tanah ala kolonial.
Apakah kita benar-benar telah menuntaskan agenda “dekolonialisasi agrarian” atau justru mengalami kemunduran? Dekolonialisasi agraria berarti membongkar struktur penguasaan tanah warisan kolonial yang timpang dan eksploitatif serta menggantinya dengan sistem yang adil dan berpihak pada rakyat. UUPA 1960 lahir untuk menghapus dualisme hukum tanah kolonial, menjamin tanah untuk rakyat, dan mengakui hak ulayat.
Namun, implementasinya inkonsisten. Di era Orde Baru, HMN menjadi alat untuk membagi jutaan hektare tanah kepada perkebunan, pertambangan, dan kehutanan skala besar. Era reformasi membawa agenda “reforma agrarian”, tetapi pelaksanaannya sering tersendat oleh kepentingan investasi. Akibatnya, yang terjadi bukanlah dekolonialisasi sejati, melainkan rekolonialisasi terselubung: tanah rakyat menjadi komoditas investasi, tanah adat diklaim sebagai kawasan hutan negara, dan masyarakat lokal kehilangan kontrol atas ruang hidupnya.
Dekolonialisasi Agraria: Janji yang Tertunda
Dekolonialisasi di bidang agraria seharusnya dimaknai sebagai upaya sistematis untuk memutus warisan ketimpangan struktur penguasaan tanah yang diciptakan kolonialisme. Pada masa penjajahan, hukum agraria kolonial seperti “Agrarische Wet” 1870 mengatur kepemilikan dan penguasaan tanah untuk kepentingan ekonomi kolonial, khususnya melalui sistem konsesi jangka panjang bagi perkebunan swasta Eropa. Hal ini meninggalkan warisan ketimpangan: tanah luas dikuasai segelintir elit, sementara rakyat kecil terdesak ke lahan-lahan marginal.