Home > Budaya

Obituari yang Tidak Pernah Ditulis (Bagian 2)

Ia menulis dengan hati, dengan jiwa, dengan seluruh kenangan yang ia miliki tentang Bramudia. Ia tidak lagi melihat Bramudia sebagai pahlawan, melainkan sebagai manusia,

FIKSI AI

Pertemuan Terakhir

Berbilang tahun, pertemanan Roni dan Bramudia adalah potret ombak laut terkadang pasang, lain hari surut. Lama Roni tidak jumpa Bramudia karena terkena rotasi berpindah desk.

Hari ini Roni bertemu Bramudia lagi, pertemuan ini sebuah rumah sakit. Bramudia terbaring lemah di ranjang, tubuhnya kurus, napasnya tersengal.

Roni duduk di sampingnya, memegang tangannya yang dingin. “Pak, bagaimana kabar Bapak?”

Bramudia tersenyum lemah. “Saya sudah seperti lilin yang hampir padam, Roni. Tapi saya tidak menyesal. Saya telah hidup dengan cara yang saya yakini”, katanya.

Roni menunduk, matanya berkaca-kaca. “Maaf, Pak, saya dulu sempat marah dengan Bapak. Saya tidak mengerti apa yang Bapak maksud”.

Bramudia menggelengkan lemah. “Tidak, Roni. Kamu tidak salah. Saya yang salah. Saya terlalu sombong, terlalu merasa diri paling benar. Saya terlalu sering melihat dunia dalam dua warna, tanpa menyadari bahwa hidup ini penuh dengan nuansa. Saya telah menjadi hero dari film koboi Tom Mix, di mana si jagoan selalu bertopi putih dan si jahat selalu bertopi hitam”.

“Tidak, Pak Bramudia”, kata Roni, suaranya serak. “Bapak adalah inspirasi bagi saya. Bapak adalah pelita yang menerangi jalan saya”.

Bramudia tersenyum, matanya memancarkan kedamaian. “Pelita tidak akan ada artinya tanpa api, Roni. Api itu adalah semangat juangmu, keberanianmu, idealismemu. Jangan biarkan api itu padam, meski badai datang menerpa. Teruslah berjuang, teruslah menulis, teruslah menjadi penjaga kebenaran”.

Bram menghela napas terakhirnya, senyum masih terukir di bibirnya. Roni merasakan tangannya menjadi dingin. Air matanya menetes, membasahi tangan Bram.

× Image