Film Dokumenter Sebagai Genre Jurnalisme
Pendapat lain menyatakan, film dokumenter adalah bentuk dari jurnalisme advokasi. Menurut Septiawan Santana (2017) mengutip Fred Fiedler bahwa jurnalisme advokasi merupakan praktik jurnalisme yang berusaha memasukkan pendapat ke dalam laporan berita. Dalam setiap liputan, dengan tetap memperhatikan keakuratan dan kebenaran fakta, laporan berita disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi opini publik.
Dalam jurnalisme, fakta diperoleh melalui wawancara, riset lapangan, dan analisis dokumen. Dalam film dokumenter hal yang sama juga dilakukan pembuat film, riset mendalam, mewawancarai narasumber, dan menggunakan arsip video atau foto.
Dari narasi awal ketika kehadiran film 17 Surat Cinta disampaikan ke publik, film ini bercerita tentang lingkungan khususnya kerusakan lingkungan yang terjadi dari ujung barat Indonesia sampai ke ujung timur di Papua. Dandhy Laksono memotret bagaimana hutan-hutan yang disakralkan oleh negara, justru dihabisi.
Fakta yang diungkapkan film ini mengingatkan pada film dokumenter berjudul Semesta yang diproduksi Mandy Marahimin dan Nicholas Saputra tahun 2018 dan dirilis ke publik tahun 2020. Film ini dapat dilihat dari pendekatan jurnalisme lingkungan. Mengisahkan perjuangan 7 tokoh dalam melawan perubahan iklim. Film Semesta mengajak penonton untuk melihat bagaimana masyarakat setempat menjaga alam dengan menggabungkan agama, adat budaya, dan teknologi.
Film dokumenter adalah jembatan antara seni dan jurnalisme, menggabungkan estetika visual dengan prinsip-prinsip jurnalistik untuk menyampaikan kebenaran. Film dokumenter yang menggabungkan fakta, emosi, dan visual yang menarik akan mampu menyampaikan pesan dan memberikan dampak yang mendalam pada penonton. (maspril aries)