Ada Politik Gentong Babi di Pilkada?
KINGDOMSRIWIJAYA – Masih kisah dalam film berjudul “Dirty Vote” yang tayang menjelang pemilihan umum (pemilu) Februari 2024 lalu. Dalam film dengan pemeran Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti dan Feri Amsari ada penggalan cerita tentang politik gentong babi pada kontestasi Pilpres. Tiga pemeran tersebut membahas tentang kecurangan yang terjadi, khusus peningkatan tajam bansos menjelang pemilu atau pemilihan presiden (pilpres) dibanding masa pandemi yang mengindikasikan pengaruh politik uang dan pembelian suara.
Menurut Bivitri Susanti kecurangan tersebut dapat dianalisis dalam fenomena politik gentong babi. Mengutip peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Gurnadi Ridwan, “Politik gentong babi merupakan upaya calon pemimpin memberikan uang atau barang kepada masyarakat untuk memikat pemilih sekaligus mendulang suara. Cara ini biasanya dilakukan calon incumbent atau petahana yang telah memiliki kekuasaan”.
Apakah praktik politik gentong babi juga terjadi pada Pilkada yang kini sudah memasuki masa kampanye dari para calon kepala daerah? Mungkin saja ada atau sama sekali tidak ada? Akan ada perdebatan di sini, ada yang berpendapat politik gentong babi hanya bisa dilakukan oleh calon petahana, bagi calon non petahana mereka bersih dari praktik politik yang dalam bahasa Inggris disebut pork barrel politic.
Gentong Babi dari AS
Sebelum membahas apa definisi dari politik gentong babi? Mari mulai dengan menyimak alkisah tentang politik “gentong babi” yang kali pertama diperkenalkan dalam apa yang disebut Bill Bonus. Menurut Hendri F. Isnaeni dalam “Gentong Babi" di Parlemen Dana aspirasi di Indonesia, “gentong babi” di Amerika” yang terbit di historia.id (2010), adalah Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) John C Calhoun tahun 1817 mengusulkan Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika.