Redenominasi Bukan Sanering (Bagian 2 - Habis)
Menurut TP Kurnianingrum dalam “Redenominasi Rupiah dalam Perspektif Hukum. Negara Hukum” (2013), beberapa kali Indonesia menerapkan kebijakan salah, yakni tahun 1950, 1959, dan terakhir 1965—bersamaan jatuhnya Orde Lama. Bentuk kebijakan sanering di tiga periode itu sama sekali tidak membawa dampak positif kepada masyarakat, malah justru memperburuk keadaan.
Misalnya, ketika sanering pertama mulai diterapkan, uang merah (uang NICA) dan cetakan De Javasche Bank Rp5 ke atas digunting dan dipotong setengah nilainya. Sanering pertama tersebut diterapkan untuk menata perekonomian yang masih kacau, dan mengganti mata uang lama, terbitan Hindia Belanda, dengan mata uang baru.
Sanering kedua diberlakukan karena pemerintah ingin menutup utang-utangnya di bank. Kekacauan muncul pasca diberlakukannya sanering, likuiditas terjadi di mana-mana. Bank-bank mengalami masalah likuiditas. Akhirnya pemerintah membekuan simpanan pada bank sebesar 90 persen dari jumlah di atas Rp 25.000, dengan ketentuan simpanan itu menjadi simpanan jangka panjang. Juga terjadi depresiasi besar-besaran pada rupiah, sehingga mata uang nasional Indonesia pun merosot tajam.
Sanering ketiga, dijalankan karena pemerintah ingin menurunkan inflasi akibat peredaran uang yang terlalu besar. Pada sanering ketiga nilai uang dari Rp500 dan Rp1000 diganti menjadi Rp50 dan Rp100. Sementara harga-harga tidak berubah. Konsekuensinya daya beli masyarakat menurun. Akibatnya kemiskinan semakin merajalela
Belajar dari sejarah keuangan Indonesia dan dunia, jelas bahwa sanering berbeda dari redenominasi. Kini pemerintah menyatakan siap melakukan redenominasi rupiah.
Menurut Chairul Iksan Burhanuddin dalam “Redenominasi, Nilai Mata Uang dan Eksistensi Emas di Era Covid-19” (2020) dalam rancangan strategis Kementrian Keuangan 2020-2024, salah satu fokusnya pada tahap proses perubahan harga rupiah (Redenominasi) yang nantinya akan segera dibuatkan regulasi oleh pemerintah.
Regulasi tersebut adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai redenominasi yang sebelumnya telah dicanangkan sejak tahun 2017 oleh pimpinan Bank Indonesia saat itu Agus Martowardjojo.
RUU tentang perubahan harga rupiah (redenominasi rupiah) telah diusulkan oleh pemerintah kepada DPR sebagai prioritas Prolegnas 2013 pada tanggal 3 Agustus 2010.
Untuk melaksanakan redenominasi Bank Indonesia telah melalui serangkaian tahapan sejak 2011 – 2020. Pertama, tahun 2010 pertama kali wacana redenominasi muncul. Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution menyatakan akan menghilangkan tiga angka nol di belakang rupiah. Langkah ini untuk menyederhanakan penyebutan satuan harga atau nilai rupiah.
Kedua, tahun2011-2012. Bank Indonesia mulai melakukan pembahasan dengan pemerintah perihal rencana redenominasi. Periode ini juga sebagai masa sosialisasi. BI juga menyiapkan berbagai macam hal seperti menyangkut akuntansi, pencatatan, sistem informasi. Tahapan penyusunan RUU, rencana percetakan uang dan distribusinya juga sudah mulai berlangsung.
Ketiga, tahun2013-2015 periode ini merupakan masa transisi. Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia pada 23 Januari 2013, resmi menggelar serangkaian sosialisasi rencana redenominasi. Tujuannyauntuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa redominasi bukanlah pemangkasan nilai mata uang (sanering) tapi penyederhanaan dengan menghilangkan beberapa nol. Pada masa ini akan ada dua jenis mata uang, yakni pecahan lama dan pecahan baru pasca redenominasi.
Keempat, tahun2016-2018 pada periode ini, pemerintah menargetkan uang saat ini (rupiah lama) akan benar-benar tak beredar lagi. BI akan melakukan penarikan uang lama secara perlahan pada masa transisi.
Kelima, tahun 2019-2020 pelaksanaan redenominasi mulai terjadi. Tahapan ini disebut phasing out, yakni saat dilakukan pengembalian mata uang rupiah dengan kata 'baru' menjadi rupiah.
Namun tahapan tersebut tidak seluruh bisa terealisasi. Pemerintah atau Bank Indonesia kembali mewacanakan redenominasi rupiah. Dengan redenominasi (currency redenomination) rupiah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi mata uang dan daya saing (competitive advantage) bangsa Indonesia agar menjadi lebih setara dibandingkan negara lain. (maspril aries)