Omar: Kisah Tragis Budak Muslim yang Menjelma Menjadi Opera Modern
Dalam autobiografinya yang menjadi satu-satunya sumber rujukan terhadap pemikiran Omar, beberapa sejarawan meyakini bahwa Omar tidak sepenuhnya beralih ke kristiani dan tetap memegang teguh keyakinannya sebagai seorang muslim hingga akhir hayat. Buku yang ditulis Omar dalam bahasa Arab pun cukup ambigu membahas hal ini.
Sejarawan berspekulasi bahwa Omar kemungkinan beralih agama agar terhindar dari hukuman dan penyiksaan yang kerap diterima budak kulit hitam Afrika. Mereka tidak mengetahui apakah Omar semasa hidup pindah agama atas kesadarannya sendiri atau karena paksaan.
Sejarawan juga berargumen bahwa Omar menulis buku untuk dua tipe pembaca, warga kulit putih Amerika yang mencoba mengeksploitasi keyakinan agamanya dan warga sebangsanya yang bisa membaca dan memahami bahasa Arab serta Al-Quran. Abels selaku komposer opera “Omar” percaya bahwa Omar ibn Said sangat berhati-hati dalam menulis kisah hidupnya dan terkesan menyembunyikan jati diri sesungguhnya.
Peninggalan Perbudakan Muslim
Buku autobiografi Omar dan terjemahannya kini disimpan di Perpustakaan Kongres Amerika Serikat sebagai salah satu peninggalan sejarah penting. Pada 2019 Festival Seni Spoleto yang diselenggarakan di Charleston, kota dimana Omar ibn Said dijual sebagai budak, mengkomisi pembuatan pertunjukan teater tentang Omar. Musisi folk Rhiannon Giddens dan komposer Michael Abels lantas ditunjuk untuk menggubah musiknya.
Sementara Kaneza Schaal dipilih untuk menyutradarai opera yang dibintangi oleh Jamez McCorkle, Cheryse McLeod Lewis, Laquita Mitchell, dan Adam Klein. Penulis dan seniman Christopher Myers bertindak sebagai designer produksi opera “Omar”.
Myers mendesain “Omar” dengan tulisan-tulisan dalam berbagai bahasa seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai motif produksinya. Mulai dari desain panggung, efek visual dan cahaya, hingga baju yang dikenakan pemain semuanya mengimplementasikan tulisan bahasa Arab, Inggris, dan lain-lain. Ini untuk menggambarkan betapa pentingnya warisan budaya, literatur dan kemampuan baca-tulis Omar sepanjang hidupnya.
Rhiannon Giddens dan Michael Abels tidak sepenuhnya mengadaptasi kisah Omar ibn Said sebagai opera. “Omar” merupakan interpretasi dan gambaran umum tentang nasib budak-budak muslim lainnya di Amerika Serikat.
Menurut CBS, terdapat sekitar 20-30 persen budak dari Afrika yang beragama Islam. Kebanyakan dari mereka kini terlupakan oleh sejarah seperti halnya Omar ibn Said. Giddens dan Abels baru mengetahui kisah Omar dan budak-budak lainnya melalui proyek ini. Mereka lantas mencoba menyajikan musik yang menyatukan berbagai elemen, bahasa, dan budaya serta “memberi suara” pada kisah-kisah perbudakan di Amerika Serikat.
Juri dan panitia Pulitzer 2023 dalam pernyataan resmi mereka menyampaikan bahwa “Omar” merupakan sebuah karya musik yang merepresentasikan budaya dan tradisi Afrika hingga Amerika-Afrika dengan hormat serta sukses memperluas “bahasa” dan wujud opera. “Omar" juga menyampaikan dengan lugas kemanusiaan kaum yang diperbudak melalui lagu dan musik. Musik opera “Omar” oleh Rhiannon Giddens dan Michael Abels berhasil mengalahkan kandidat lainnya yaitu komposisi musik "Monochromatic Light (Afterlife)" oleh Tyshawn Sorey dan album instrumental "Perspective" oleh Jerrilynn Patton.
Kini, pertunjukan opera “Omar” telah ditampilkan di Spoleto Festival, Carolina Performing Arts, dan Los Angeles Opera. Tahun ini rencananya opera ini juga akan ditampilkan di Boston sebagai bagian pertunjukan Boston Lyric Opera. (muhammad rifky)