Stop Kriminalisasi Guru dan Butuh Komisi Perlindungan Guru
Dalam FGD juga muncul gagasan perlunya lembaga perlindungan bagi guru. Jika ada Komisi Perlindungan Anak mengapa tidak ada Komisi Perlindungan Guru karena guru pun rawan dikriminalisasi orang tua siswa.
Menurut Aina, lembaga semacam komisi perlindungan sepertinya ke depan diperlukan. “Bisa dibayangkan betapa beratnya tugas seorang guru yang selama tujuh sampai delapan jam setiap hari harus menghadapi puluhan murid dengan beragam tingka dan polahnya. Orang tua siswa seharusnya memahami kondisi itu, bagaimana mereka kerepotan selama dua tahun menjadi ‘guru’ di rumah saat pandemi Covid-19 lalu,” ujarnya.
“Ya jika di kalangan wartawan atau jurnalis ada kampanye ‘stop kriminalisasi wartawan,’ pada guru juga diperlukan kampanye yang setara ‘stop kriminalisasi guru’ yang melibatkan sekolah, guru itu sendiri, advokat dan juga wartawan untuk membantu melakukan sosialisasi,” kata Aina advokat yang juga pernah menjadi wartawati Majalah Tempo, Forum Keadilan dan Kepala Biro Koran Sindo Palembang.
Disiplinkan Siswa
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, sejak Indonesia merdeka kegiatan belajar mengajar, adanya pemberian hukuman kepada siswa merupakan suatu hal yang biasa yang dilakukan oleh guru sejak dari dulu dalam rangka mendisiplinkan anak didik (murid) dari perbuatan yang tidak baik.
Namun pasca reformasi dan era milenial saat ini, guru yang mendisiplinkan anak didik atau murid bisa dituduh sebagai pelaku kriminal, bisa diadukan ke polisi dan dijerat hukuman pidana mendekam dalam penjara.
Guru kerap dilanda kecemasan saat mengajar jika memberikan hukuman disiplin kepada siswa bisa dianggap sebagai suatu tindakan kekerasan dan dikategorikan sebagai kekerasan anak secara fisik.
Dulu tahun 2012 ada perkara guru yang diseret ke meja hijau karena menghukum siswa dengan melakukan razia memootong rambut siswa yang gondrong. Guru tersebut bernama Aop Saepudin mengjar di SDN Panjalin Kidul 5 Sumber jaya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat (Jabar).
Menjadi terdakwa berdasarkan pengaduan orangtua siswa Tomi Himawan Susanto. Aop Saepudin lalu diadili di PN Majalengka dengan putusan No. 257/Pid.B/2012/PN.Mjl tanggal 2 Mei 2013 dan diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 226/PID/2013/- PT.BDG. tanggal 31 Juli 2013.
Putusan dua pengadilan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan. Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut. Pertimbangan hakim MA dalam menjelaskan bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 226/PID/2013/- PT.BDG. yang telah menghukum terdakwa yaitu Aop Saepudin dibatalkan.
Hakim MA melihat bahwa Aop Saepudin tidak layak dipidana karena ia menjalankan tugas selaku pendidik. Ketika ia melakukan pemotongan rambut kepada siswa adalah dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya untuk mendisiplinkan siswa. Siswa dalam hal ini telah melanggar norma yang diterapkan oleh sekolah. Guru dalam menegakkan kedisiplinan bagi siswa dilindungi oleh peraturan perundangan.
Kemudian pada 2016, MA juga mengambil putusan yang sama dalam perkara seorang yang melakukan tindak disiplin dengan memotong rambut empat siswanya yang berambut panjang, salah satu murid tidak terima dan memukul guru tersebut bersama dengan orang tuanya.
Lalu kasus ini bergulir ke ranah hukum. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri putusannya menyatakan bahwa guru tersebut telah terbukti melakukan tindak pidana dengan pidana percobaan. Pada putusan banding, Pengadilan Tinggimenguatkan putusan Pengadilan Negeri.